Dark/Light Mode

Industri Gula Tionghoa di Batavia (1684-1740)

Senin, 24 Oktober 2022 09:00 WIB
Fine Art America
Fine Art America

Anisa Jayanti,
Mahasiswi Magister, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(*)

Pada 2 Oktober 2022, KAYFA.ID mengadakan webinar dengan narasumber Bondan Kanumoyoso, Sejarahwan dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, bertajuk Jejak Tionghoa di Nusantara. Bondan menulis disertasi “Beyond The City Wall: Society and The Economic Development in The Ommelanden of Batavia (1684-1740)” . Disertasi ini dipublikasi oleh Scholarly Publications of Leiden University. Pada webinar KAYFA, Bondan mengulas Tionghoa di Batavia pada rentangan 1684-1740.

Industri Gula Menembus Pasar Asia dan Eropa

Bondan Kanumoyoso berdasarkan penelitiannya mengungkap, selain rempah-rempah, gula menjadi komoditas penting bagi kompeni Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang laku terjual hingga menembus pasar Asia dan Eropa. Pada awal 1616, gula Asia menjadi daya tarik serta perhatian para bangsawan Eropa (Bondan, 2001: 137), yang membutuhkan banyak pasokan gula dari Asia untuk dikonsumsi atau dijual lagi ke Eropa. 

Gula Asia di Eropa sangat menjanjikan omzet penjualannya, karena kualitasnya yang tinggi. Kesuksesan industri gula Asia yang berasal dari Tiongkok berlangsung lama, dan mendominasi pasar Asia, begitu juga Eropa. Setidaknya, hampir 3.0 juta pon gula dibawa ke Eropa. 

Jauh sebelum Batavia berdiri, dalam skala kecil, industri gula Tionghoa di Batavia telah muncul. Mereka memiliki pelabuhan pesisir utara Jawa, seperti Banten, Cirebon, Tegal, dan Jepara. 

Jan Pietersz Cohen sebagai pendiri Batavia menyadari betul ketergantungan kompeni Belanda terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Sebab, mereka menopang perekonomian di Ommelanden yang kawasannya meliputi Ommelanden Batavia, Ommelanden Barat (Tangerang), Ommelanden Selatan (Bogor), Banten dan pantai utara jawa (Cirebon, Tegal, Pekalongan, Jepara). 

Kompeni Belanda VOC mengakui kegigihan masyarakat Tionghoa, yang pada saat itu adalah pengrajin, pemilik toko, dan pedagang (Bondan, 2011: 141). Hingga Belanda membujuk penduduk Tionghoa di Pelabuhan Banten untuk pindah ke Batavia, untuk memajukan perkebunan Belanda, baik merica, padi, rempah, dan yang paling potensial adalah tebu (Blusse : 93-95). 

Proses Produksi Gula 

Bangunan pabrik gula pada saat itu masih tradisional, yakni dari gubuk kayu dan bambu, beratap jerami, atau daun palem. Gubuk-gubuk itu digunakan sebagai gudang menggiling tebu, dan merebus, kemudian digunakan sebagai kandang kerbau dan penginapan sederhana bagi para buruh selama masa panen.

Baca juga : Industri Ngarep Bisa Masuk BLU Batubara

Penggilingannya terbuat dari kayu, batu, dan besi yang diletakkan di tengah gubuk berbentuk silinder, yang diputar bolak-balik oleh kerbau (Bondan, 2001, 155). Yang menarik dari tradisi penggilingan tradisional ini adalah berasal dari teknologi tradisional Tionghoa dalam menggiling tebu. (Sun and Shiou Chuan Sun, 1997: 127).


Ilustrasi teknologi tradisional Tionghoa untuk menghancurkan tebu.


Proses produksi tradisional tergolong mudah dalam pembangunan pabrik, reparasi, dan pemindahan dari satu tempat ke tempat lain. Teknologi industri yang digunakan adalah teknologi tradisional Tionghoa. Pertama, tebu digiling, kemudian diekstraksi menjadi air gula, lalu disimpan ke dalam wadah besar untuk direbus hingga menjadi gula. 

Ada dua pihak berbeda dalam proses produksi. Pertama, hanya pada tahap menggiling tebu menjadi air gula. Sampai tahap ini para buruh bisa mendapatkan upah. Hasil ekstraksi air tebu dibawa berpikul-pikul. Misalnya dari pabrik gula Tuan Oey Tsinsay, pedagang Tionghoa menjual 400 pikul air gula kepada Tuan Ong Soncko. Ia jual sudah termasuk ongkos transport. Para buruh mendapat bagian upahan dari pikul air gula misal dari 100 pikul mendapat bagian 40 Rijksdaalder, yakni koin Belanda yang digunakan sebagai alat tukar di Batavia (Bondan, 2001: 159).

Selanjutnya di pihak kedua, ada proses kristalisasi air tebu. Ini tahap yang rumit. Air tebu akan direbus selama beberapa waktu hingga mengkristal. Rintangan terbesar adalah ancaman fermentasi air gula yang cepat akibat terkena suhu udara, maka para buruh harus cepat dalam merebus air gula setelah ekstraksi. Suhu mendidih harus dikontrol penuh kehati-hatian, karena bila terlalu panas, akan mengubah struktur air rebusan gula, dan  pada suhu terlalu tinggi maka sirup gula akan terbakar. Karena itu, dibutuhkan keahlian memadai. 

Setelah sirup gula mendidih dan mengkristal, maka dipisahkan. Ada dua macam kualitas berbeda dari pemisahan. Gula putih adalah kualitas terbaik yang disebut “cabessa” dan gula yang lebih gelap adalah gula kualitas rendah disebut “bariga”. Harga gula“cabessa” adalah 3,5 rijksdaalder per pikul, sedangkan “bariga” dijual dengan harga 3 rijksdaalder per Pikul (ANRI MGR:1728). 

Baca juga : Industri Vape Tolak Revisi PP 109/2012

Gula putih “cabessa” dapat dijual langsung ke masyarakat, dan gula berkualitas rendah “bariga” menjadi bahan campuran pembuatan arak, karena industri gula juga sudah terasosiasi dengan pembuat arak Tionghoa untuk menghasilkan minuman beralkohol yang bahan mentahnya dari “Bariga”  (ANRI MGR, 1710 : 496). Demikian proses pembuatan gula di Batavia.

Manajemen Buruh 

Buruh-buruh industri gula banyak diambil dari pantai utara Jawa, yakni Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan dari daratan Tiongkok. Pabrik gula memilih pekerja yang jauh, sebab mereka tahan banting terhadap pekerjaan yang sulit, dibandingkan orang yang tinggal dekat dengan Batavia, buruh-buruh “bujang” direkrut (Bondan, 2001: 110, 172). Dalam pembagian pekerjaan, orang-orang Jawa mayoritas bekerja di perkebunan gula, sedangkan pekerjaan terampil produksi gula adalah buruh Tionghoa. Mereka mendapat upah lebih tinggi (Knight:180), karena mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi, yakni dari tebu menjadi gula.

VOC dan Geger Pecinan 1740

Kemajuan industri gula masyarakat Tionghoa di Batavia, membuat Belanda tertarik menguasai seluruh produksi gula Tionghoa di Batavia. Padahal waktu itu, VOC yang meminta orang-orang Tionghoa untuk berkebun, menjadi buruh, dan pengusaha gula di Batavia. Tragedi pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa oleh Belanda terjadi pada 1740 di Batavia. 

Kerusuhan hebat terjadi, sehingga sungai di tempat pembantaian itu menjadi merah oleh darah orang-orang Tionghoa yang dibantai, yang kemudian disebut dengan “Angke” atau kali merah. Industri gula yang begitu pesat di Batavia pun berakhir tragis, karena “keuntungan” industri gula harus jatuh ke tangan VOC Belanda.

Sumber:

[1] Bondan Kanumoyoso, “Beyond the City Wall : Society and Economic Development in The Ommelanden of Batavia, 1684 -1740” (Netherland, Univesity of Leiden : 2011)

[2] Blussé, Leonard and Felipe Fernándes-Armesto (eds.), “Shifting Communities and Identity Formation in Early Modern Asia” (Leiden: CNWS, 2003)

Baca juga : Ivana, Mantan Istri Donald Trump Meninggal Di Usia 73

[3] Blussé, Leonard. Strange Company: “Chinese settlers, mestizo women and the Dutch in VOC Batavia”. (Dordrecht, Holland: Foris Publication, 1988)

[4] Knight, G.R. “From Plantation to Paddy Field: The origins of the Nineteenth Century Transformation of Java‘s Sugar Industry. Modern Asian Studies”, Vol. 14, No. 2, 1980.

 

 

 

 

 

 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.