Dark/Light Mode

Catatan Agus Sutoyo

Naskah Hikayat Aceh Mendunia

Sabtu, 27 Mei 2023 14:10 WIB
Agus Sutoyo (Foto: Dok. Perpusnas)
Agus Sutoyo (Foto: Dok. Perpusnas)

RM.id  Rakyat Merdeka - Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada hari jadinya yang ke-43 tahun, 17 Mei 2023, mendapat kado istimewa dari Unesco, karena salah satu koleksinya mendapat pengakuan dunia kembali. Naskah Kuno Hikayat Aceh yang lama diusulkan Perpusnas RI dan Perpustakaan Universitas Leiden (hasil dari joint nomination) telah berhasil ditetapkan sebagai Memory of The World (MoW) pada 18 Mei 2023.

Naskah Hikayat Aceh merupakan salah satu teks berlatar sejarah pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, dengan tokoh utama Sultan Iskandar Muda (1590-1636) di masa keemasan Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang ditetapkan melalui Keppres Nomor 77/TK/1993 tanggal 14 September 1993. Hikayat ini merefleksikan budaya, ekonomi, dan politik global saat itu. Penggambaran diplomasi politik dan perdagangan, tercermin dalam hubungan antara Aceh dengan luar negeri.

Pengaruh Sultan Iskandar Muda sebagai tokoh utama dalam naskah Hikayat Aceh sangat besar. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami puncak kejayaan dan menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tenggara. Kesantunan dan kehidupan toleransi, kepiawaian dan kelihaian taktik perang Sultan Iskandar Muda sangat dikagumi dan disegani oleh penduduk lokal dan bangsa di luar Aceh.

Nilai-nilai sosial dan spiritual dalam Hikayat Aceh sangat menonjol. Hikayat Aceh menggambarkan sosok teladan Sultan Iskandar Muda yang murah hati, empati, bijaksana, dan tegas. Hikayat Aceh memiliki informasi dan asosiasi dengan kehidupan masyarakat Aceh dan kehidupan masyarakat lainnya di Nusantara. Masyarakat Aceh dan Nusantara mengetahui kebesaran Iskandar Muda yang merupakan tokoh sentral dalam Hikayat Aceh.

Dalam lingkup internasional, naskah Hikayat Aceh menguraikan tentang jaringan sosial yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dalam hikayat ini terdapat kisah perjalanan Raja Indra Syah ke negeri China, dan menjelaskan hubungan antara Aceh dengan negeri Rum. Hikayat Aceh juga menceritakan bagaimana budaya hidup rukun dengan bangsa yang berbeda, seperti ketika Raja Indra Syah berkunjung ke China yang disambut dan dimuliakan tuan rumah. Budaya saling menghormati satu sama lain dibangun di Kesultanan Aceh, sehingga Aceh terkenal pada saat itu dan mampu memperluas wilayahnya ke daerah lain. Pada tanggal 18 Mei 2023, naskah Hikayat Aceh secara resmi ditetapkan sebagai Memory of The World (MoW) atau warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco).

Hikayat Aceh yang ditetapkan sebagai warisan dunia itu tidaklah mudah prosesnya, setelah melalui kajian akademik yang panjang dan kemudian secara koordinasi diusulkan oleh Universitas Leiden (Belanda), Perpustakaan Nasional RI, Pemerintah Aceh dan tentu saja Arsip Nasional yang juga sebagai Ketua Komite MoW yang mendukung dan berperan aktif dalam pengusungan koleksi yang mendunia ini. Usulan pengajuan naskah Hikayat Aceh mulai tercetus sejak 2018, lalu dinominasikan dalam MoW Unesco pada 2021 hingga pada Mei 2023 secara resmi ditetapkan warisan dunia.

Literasi Sejarah dan Budaya

Baca juga : Sudah Berliterasi, Sambas Semakin Sakti

Hikayat Aceh diakui sebagai warisan dunia Unesco karena beberapa alasan. Antara lain karena bercerita tentang kehidupan Sultan Iskandar Muda dan memberikan gambaran tentang sejarah dan budaya Aceh yang kaya dan bernilai. Selain itu, naskah Hikayat Aceh juga mengajarkan nilai-nilai toleransi di antara pejabat, pemimpin agama, dan masyarakat. Hikayat Aceh menanamkan pola hidup dan budaya multikultural dan berinteraksi antara satu dengan lainnya antara Sultan dengan rakyat dan antara pendatang dengan pribumi.

Hikayat Aceh adalah sebuah manuskrip (naskah) kuno yang ditulis dalam Bahasa Melayu dengan aksara Arab pada abad 17. Bercerita tentang kehidupan Sultan Iskandar Muda yang kuat dan megah pada masa Kesultanan Aceh dan tentang toleransi yang dibangun dari beberapa unsur, di antaranya sultan/pejabat negara, ulama, rakyat, adat dan agama. Naskah Hikayat Aceh juga bercerita tentang hubungan kenegaraan dengan Portugal, China dan Turki, persaingan internal, perang, dan agama (Islam). Selain kaya isi, Unesco juga menyebut gaya penulisan Hikayat Aceh suatu karya yang unik, karena menggunakan gaya sastra Melayu tradisional dan kaya akan pengaruh Persia. Hikayat Aceh merupakan koleksi langka karena tidak ada banyak salinan. Saat ini hanya terdapat tiga naskah Hikayat Aceh, dua di antaranya terdapat di Universitas Leiden Belanda dan satu lagi disimpan di Perpustakaan Nasional.

Naskah Hikayat Aceh ini yang merupakan karya sastra kuno yang berkisah tentang perjalanan Sultan Iskandar Muda sebagai sultan paling kuat dan besar dalam Kesultanan Aceh. Peneliti bidang agama dan tradisi keagamaan Melayu-Aceh Kementerian Agama, Fakhriati pernah menyampaikan bahwa naskah Hikayat Aceh ini berkisah tentang masa Kejayaan Sultan Iskandar Muda. Selain itu, juga berisi mengenai tradisi, toleransi yang dibangun oleh tokoh utama Sultan Iskandar Muda.

Dalam naskah Hikayat Aceh, Fakriati mencoba merangkai isi naskah bahwa di dalamnya terdapat toleransi yang dibangun dari beberapa unsur. Di antaranya, sultan/pejabat negara, ulama, rakyat, adat dan agama. Ada keterikatan antar unsur ini secara utuh. Saling mendukung sehingga membentuk nilai-nilai toleransi. Dikatakan, Hikayat Aceh menanamkan pola hidup dan budaya multikultural dan berinteraksi antara satu dengan lainnya antara Sultan dengan rakyat dan antara pendatang dengan pribumi.

Sementara, Peneliti Filologi Melayu-Aceh Hermansyah, mengatakan naskah Hikayat Aceh merupakan koleksi langka karena tidak ada banyak salinan. Saat ini hanya terdapat tiga naskah Hikayat Aceh, dua di antaranya terdapat di Universitas Leiden Belanda dan satu di Perpustakaan Nasional RI. Naskah Hikayat Aceh ini menggunakan aksara Jawi berbahasa Melayu. Namun naskah yang ada ini halaman awal dan akhir belum ditemukan.

Dijelaskan, Hikayat Aceh menceritakan kisah para Sultan dan Kesultanan Aceh sebelum dan di masa Sultan Iskandar Muda pada 1590-1636 M. Naskah kuno ini pun memenuhi nilai-nilai historis baik melalui sumber primer sejarah, peristiwa dan ketokohan. Sehingga perlu adanya reproduksi teks Hikayat Aceh dalam bentuk modern yang menjadi media edukasi dan sosialisasi naskah Hikayat Aceh.

Baca juga : Polisi Kembali Kepada Jati Dirinya

Selain itu, dalam bidang politik, diceritakan bahwa Sultan Iskandar Muda telah menaklukkan daerah-daerah di sepanjang pantai Timur dan Barat serta Johor di Semenanjung Melayu. Tidak hanya itu, hubungan dengan Timur Tengah dan negara-negara Barat telah terjalin dengan baik. Hikayat ini juga memuat tradisi-tradisi masyarakat Aceh pada masa Iskandar Muda seperti perkawinan, perayaan keagamaan dan kerajaan yang masih hidup di masyarakat Aceh sampai sekarang.

Ada tiga naskah Hikayat Aceh yang diusulkan dan telah ditetapkan Unesco yaitu dua naskah di Perpustakaan Universitas Leiden, nomor Cod. Or. 1954 dan Cod. Or. 1983, dan satu naskah di Perpustakaan Nasional RI dengan nomor Ml 421. Sebelumnya, Unesco juga telah menetapkan empat naskah dari Indonesia yaitu La Galigo pada tahun 2011 (Indonesia dan Belanda), Babad Diponegoro dan Negarakretagama (Indonesia dan Belanda) pada tahun 2013 dan Cerita Panji (Indonesia dan Belanda) pada tahun 2017.

Terkait dengan naskah Hikayat Aceh ini tentu ada juga kaitannya dengan Snouck Hurgronje. UU Hamidy, pakar Hikayat Aceh asal Unri, Pekanbaru-Riau, yang selama setahun penuh meneliti hikayat di Aceh tahun 1974 menyebutkan, bahwa jumlah hikayat Aceh tempo dulu hampir 1.000 judul. Snouck Hurgronje, Ilmuwan dan Orientalis Belanda dalam bukunya (1894), yang sejak tahun 1985 sudah diterjemahkan: “Aceh di Mata Kolonialis” menyebutkan, bahwa ia telah mengkaji 98 judul hikayat (sebagian besarnya masih tersimpan di Belanda). Penyalinan hikayat ke dalam huruf Latin serta penerjemahannya ke dalam Bahasa Belanda adalah dalam upaya Belanda mencari strategi untuk menaklukan rakyat Aceh yang tak takut mati. Pustaka Ali Hasjmy dan Museum Aceh, Banda Aceh juga masing-masing menyimpan puluhan judul hikayat Aceh. Bila yang tersimpan di Aceh dijumlahkan ternyata tidak sampai 200 judul.

Sampai saat ini, Aceh cukup dikenal sebagai daerah lahirnya hikayat yang mendunia. Sehingga sekarang, tepatlah digelar “Aceh Bekas Gudang Hikayat Nusantara”. Hikayat adalah hasil kebudayaan Aceh masa lalu. Kejayaannya pun telah berlalu. Kini, hanya serpihannya tinggal berserakan di sana-sini dalam masyarakat Aceh. Sekiranya ada pihak (terutama Pemda Aceh) yang mau sungguh-sungguh membangkitkannya kembali, hikayat Aceh pasti bersinar lagi, walau tak semeriah dulu.

Sepanjang sejarah Aceh, hikayatlah yang lebih populer dalam masyarakat dibandingkan Nazam dan Tambeh, yang juga merupakan karya sastra kuno. Pada era Aceh belum dibanjiri sarana hiburan produksi teknologi; seperti koran, radio, tivi, internet dan sebagainya; hikayat termasuk sumber hiburan paling utama. Saat itu, hikayat digemari kaum tua dan muda. Selain itu, untuk mengarang naskah Nazam atau Tambeh juga perlu keahlian khusus dalam seluk-beluk agama Islam, Jadi tidak sekedar memiliki bakat “Penyair” dan melek huruf Arab Melayu; seperti syarat yang harus dipunyai pengarang Hikayat.

Penulis memang belum pernah menyaksikan sendiri jumlah judul Hikayat yang beratus-ratus buah itu. Hanya dalam buku Prof. Dr. Aboebakar Atjeh (“Aceh dalam Sejarah Kebudayaan Sastra & Kesenian”), yang pernah menyebutkan hal itu. Di dalamnya disebutkan bahwa Prof. Hoessein Djajadiningrat (asisten Snouck Hurgronje) dulu memiliki 600 judul Hikayat yang merupakan hasil alih aksara (transliterasi) dari huruf Arab Melayu (Aceh: Jawoe) ke huruf Latin.

Baca juga : Calon Presiden Adalah Pelayan Masyarakat Indonesia

Usaha penggantian aksara itu dilakukan Tgk. Syekh Moh. Noerdin serta dibantu oleh Aboebakar Atjeh sendiri yang disponsori Pemerintah Penjajahan Belanda di Aceh dalam rangka menuntaskan Penaklukan Aceh yang tidak mulus. Setelah Hoessein Djajadiningrat meninggal, koleksi Hikayat itu dibeli oleh Mr. Mohd. Yamin, Pelopor Sumpah Pemuda 1928 dan tersimpan dalam perpustakaan pribadinya di Jakarta. Sejak itu, Prof. Dr. Aboebakar Atjeh sudah berkali-kali mengajak pemimpin-pemimpin Aceh untuk membeli kembali hikayat-hikayat itu guna dibawa pulang ke Aceh. Tetapi usulnya selalu sia-sia. Itulah fakta sejarah yang terjadi sampai hari ini. Dan tentu sangat luar biasa bila dunia melalui Unesco masih memberikan kesempatan kepada negara kita untuk mengakui warisan literasi peradaban bangsa Indonesia.

Upaya yang terus dilakukan Perpustakaan Nasional adalah dengan terus mengusung naskah-naskah lainnya untuk dipentaskan ke ajang dunia agar juga diakui sebgaai warisan budaya dunia. Tahun ini Perpusnas sudah mengusulkan kembali tiga naskah sebagai nominasi MoW yaitu Karya-karya Hamzah Fansuri, Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Tambo Tuanku Imam Bonjol bersama Pemerintah Daerah Sumatra Barat dan juga joint nomination dengan Malaysia untuk Hamzah Fanzuri.

Atas ditetapkannya naskah Hikayat Aceh sebagai Memory of The World menjadikannya sebagai ingatan dunia untuk membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia sehingga kelestariannya wajib dijaga agar dapat diakses oleh masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya. Hikayat Aceh dapat dijadikan sebagai hikmah, pelajaran, teladan bagi masyarakat Indonesia, seperti nilai-nilai kehidupan yang dibangun pada masa itu, seperti kepemimpinan, kesetiaan, kejujuran, toleransi, dan pendidikan karakter, serta kerja keras sehingga kerajaan Aceh bisa bertahan pada masa itu.

Manuskrip Hikayat Aceh dan juga naskah kuno lainnya yang telah mendapat pengakuan dunia ini merupakan kekayaan warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lama menjadi warisan masa lalu yang tetap dijaga kelestariannya, dan merupakan pelajaran berharga yang dapat diambil hikmahnya untuk masa depan bangsa Indonesia. Merawat masa lalu dan menatap masa depan adalah salah satu tugas utama Perpustakaan Nasional untuk menjaga peradaban bangsa ini.

Setelah naskah kuno Hikayat Aceh ditetapkan sebagai Memori Dunia ini kita semua unsur yang terkait, seperti Perpusnas dan Pemerintah Aceh bisa mencetak dan memperbanyak buku Hikayat Aceh, menjadikannya sebagai koleksi literasi di setiap perpustakaan di seluruh Indonesia. Hal ini memang perlu penanganan khusus dan niatan yang baik agar naskah kuno warisan nenek moyang kita ini tetap terlestarikan dan mampu membudayakan seni Hikayat Aceh dalam kegiatan tingkat nasional hingga internasional. Semoga naskah Hikayat Aceh ini menjadi bacaan untuk semua generasi untuk menambah pengetahuan literasi sejarah dan budaya. Salam literasi.■

Agus Sutoyo, Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Perpusnas RI.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.