Dark/Light Mode

G7: Pemilu Hong Kong Nggak Demokratis Ah

Rabu, 22 Desember 2021 06:30 WIB
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell. (Foto: European Union).
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell. (Foto: European Union).

RM.id  Rakyat Merdeka - Negara-negara maju yang tergabung dalam Kelompok G7, mengkritisi pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Hong Kong. Pemilu yang berlangsung pada Minggu (19/12) itu dianggap sebagai pengekangan terhadap demokrasi.

Pemilu Hong Kong kali ini dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemilu yang baru. Di mana hanya calon-calon yang setia pada China yang bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif Hong Kong.

Menurunnya demokrasi di salah satu pusat bisnis dunia itu, juga tercermin dari tingkat partisipasi pemilih. Hanya diikuti sekitar 30 persen pemilih, dari 4 juta lebih warga Hong Kong yang memiliki hak pilih.

Baca juga : KWP Sebut Cak Imin Pimpinan DPR Humanis Dan Demokratis

Angka itu yang terendah sejak Hong Kong kembali ke China pada 1997. Pada Pemilu terakhir 2016, tingkat partisipasi mencapai 58 persen. Sedangkan pada pemilihan Dewan Distrik 2019, ketika tokoh-tokoh pro-demokrasi menang telak, tingkat partisipasi pemilih mencapai rekor 71 persen.

Situasi tersebut menuai reaksi dari para Menteri Luar Negeri (Menlu) G7. Bersama-sama, mereka mengungkapkan keprihatinan atas terkikisnya demokrasi dalam sistem pemilihan Hong Kong.

Mereka mengatakan, proses pemeriksaan terhadap para kandidat, sangat membatasi pilihan warga di surat suara. Serta merusak otonomi tingkat tinggi yang sebelumnya dilaksanakan di Hong Kong, di bawah prinsip Satu Negara, Dua Sistem, prinsip yang disepakati saat Inggris menyerahkan wilayah itu ke China.

Baca juga : Tumben, Banteng Dan Demokrat Kompak

Para Menlu dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), meminta China memulihkan kepercayaan pada lembaga-lembaga politik Hong Kong. Mereka juga meminta diakhirinya pengekangan dan tekanan tanpa alasan jelas terhadap mereka yang mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell mengatakan, pemilihan itu adalah “langkah lain dalam pembongkaran prinsip Satu Negara, Dua Sistem”. “Kami menyerukan otonomi tingkat tinggi. Serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, kebebasan, prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum di Hong Kong,” tegas Borrell.

Dalam pernyataan sebelumnya, Inggris, AS, Kanada, Australia dan Selandia Baru mengkritik sistem baru dengan bahasa yang lebih kuat. Mereka menuding, perubahan tersebut menghilangkan oposisi politik yang penting. Mereka juga mengaku sangat prihatin dengan efek mengerikan yang lebih luas dari UU Keamanan Nasional yang diterapkan Beijing di Hong Kong.

Baca juga : AHY Bakar Semangat Kader Demokrat Papua Barat

“Serta semakin meningkatnya pembatasan kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul, yang dirasakan di seluruh masyarakat sipil,” pernyataan mereka, dilansir Al Jazeera, kemarin.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.