Dark/Light Mode

Penembakan Massal Kembali Terulang

Amrik Dicap China Negara Paling Berbahaya Di Dunia

Jumat, 27 Mei 2022 07:05 WIB
Orangtua murid menangis mendengar kasus penembakan massa di Sekolah Dasar  Robb, Uvalde, Texas, Amerika Serikat, Selasa, 24 Mei 2022.(Foto Reuters/ Marco Bello)
Orangtua murid menangis mendengar kasus penembakan massa di Sekolah Dasar Robb, Uvalde, Texas, Amerika Serikat, Selasa, 24 Mei 2022.(Foto Reuters/ Marco Bello)

RM.id  Rakyat Merdeka - Serangan bersenjata yang menewaskan 19 siswa dan dua guru di Sekolah Dasar, Uvalde, Texas, Amerika Serikat pada Selasa (24/5), sungguh mengerikan. Sejumlah petinggi negara sahabat prihatin atas penembakan massal tersebut.

Berdasarkan laporan NBC News, Kamis (26/5), penembakan massal itu merupakan kasus ke-27 di institusi pendidikan AS sepanjang 2022.

Ironisnya, politisi AS kebanyakan menanggapi dengan formalitas. Hanya berkomentar, tapi tak banyak yang diperbuat. Senator Republik Texas Ted Cruz bahkan menyerukan, diperlukan lebih banyak senjata untuk menjaga sekolah-sekolah.

“Kami tahu dari pengalaman masa lalu bahwa alat paling efektif untuk menjaga keamanan anak-anak adalah penegakan hukum bersenjata di kampus,” kata Cruz kepada MSNBC.

Sebaliknya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengaku sangat sedih dengan pembunuhan anak-anak yang tidak bersalah.

“Rakyat Ukraina di sini berbagi rasa sakit dengan kerabat dan teman para korban, dan semua orang Amerika,” ujar Zelensky di akun Twitternya, Rabu (25/5).

Baca juga : KPK Sebut Kajian ICW Soal Kerugian Keuangan Negara Salah Kaprah

Presiden Prancis Emmanuel Macron menggambarkan pembantaian itu sebagai aksi pengecut.

“Prancis terkejut dan sedih, mendukung perjuangan mereka yang berjuang untuk mengakhiri kekerasan,” katanya.

Beberapa sekutu pun ikut mempertanyakan, kenapa AS tidak dapat mengatasi kekerasan senjata, yang merenggut rata- rata 111 nyawa dalam sehari.

Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern yang sedang mengunjungi AS, berbagi cara pe- merintahannya memperketat undang-undang kepemilikan senjata, setelah seorang pria dengan ideologi supremasi kulit putih membunuh 51 orang di dua masjid di Christchurch pada 2019.

“Kami adalah orang-orang yang sangat pragmatis. Ketika kami melihat hal seperti itu terjadi, semua orang berkata, jangan pernah lagi (ke AS),” tutur Ardern kepada CBS Late Show, Rabu (25/5).

Di Australia, telah diperlakukan larangan senjata semi-otomatis setelah penembakan massal pada 1996.

Baca juga : Erick: Ini Bukti Negara Hadir, Pemerintah Nggak Mau Nambah Beban Rakyat

“Sulit membayangkan negara besar seperti Amerika terus seperti ini, dengan kekerasan senjata dan kekejaman massal,” ujar Bendahara Negara Australia Jim Chalmers, kemarin.

China, yang terus-menerus menghadapi kritik AS terhadap hak asasi manusia, menyorot minimnya tanggapan Paman Sam atas kekerasan senjata atau diskriminasi rasial di negaranya sendiri.

“Bagaimana orang bisa mengharapkan Pemerintah AS (yang) tidak peduli dengan hak asasi manusia rakyatnya, untuk memperhatikan situasi hak asasi ma- nusia di negara lain,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin dikutip AFP.

The Global Times, surat kabar nasionalis China yang dikendalikan negara, menyebut penembakan di Texas mengungkap kegagalan AS yang disebutnya “tempat paling berbahaya di dunia.”

Sementara, harian Prancis, Le Monde menyorot penembakan massal AS berturut-turut selama sepekan terakhir. Mulai dari pembunuhan di Uvalde, penembakan yang merenggut 10 nyawa di Buffalo, New York, hingga serangan di sebuah gereja California. Semua kejadian itu membuat miris.

Menurut Le Monde, insiden itu tidak mendorong per- lindungan hukum apa pun yang mungkin memperumit akses ke senjata api di AS.

Baca juga : Banteng Belum Ngasah Tanduk

“Ada pembantaian di sekolah AS, kesedihan tak berujung bagi kerabat, keprihatinan mendalam di pidato kepresidenan, lalu tidak ada yang dilakukan hingga terjadi kejadian berikutnya,” isi editorial Le Monde.

Le Monde dalam laporannya mencatat bahwa orang Amerika membeli hampir 20 juta senjata api pada 2021. Negeri Paman Sam itu juga mengalami lebih dari 20.000 kematian akibat senjata api, belum termasuk bunuh diri.

El Pais, media Spanyol, menyebut, insiden yang sama terus terjadi tanpa tindakan berarti. “Penembakan massal adalah bagian penting dari kehidupan Amerika, mereka memiliki aturannya sendiri,” tulis korespondennya, Iker Seisdedos.

Dia juga menyoroti AS yang hanya memiliki 4 persen dari populasi dunia, tetapi menjadi pemegang hampir setengah dari pistol dan senapan yang terdaftar di planet ini.

“Ini drama yang berulang, yang tampaknya tidak ingin diakhiri anggota Parlemen Amerika, meski mereka bisa,” pungkasnya.***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.