Dark/Light Mode

Dinamika Geopolitik China: Kekuatan Maritim dan Proyeksi Gemilang Pax Sinica

Rabu, 12 Juli 2023 00:25 WIB
Anisa Jayanti (Foto: Dok. Pribadi)
Anisa Jayanti (Foto: Dok. Pribadi)

Dinamika geopolitik China menjadi perhatian dunia. China memiliki cita-cita besar untuk menjadi dominant power pada 2050 dari transisi sebagai great power. Saat ini, great power terdiri dari Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan China. Amerika Serikat tak selamanya digdaya. Akan ada “power shifting” yang dispekulasikan oleh para pakar Ilmu Hubungan Internasional dan Ekonomi Politik Internasional akan hadirnya Pax Sinica (Perdamaian China) dengan China akan mendominasi dunia pada 2050, atau Pax Judaica (Perdamaian Israel/Yahudi) sebagai rival (lawan).

Persoalan “power shifting” ini hal alamiah yang terjadi dalam dinamika politik internasional. Ada masa pergantian. Setiap kekuasaan dan peradaban tidak selamanya berjaya. Itu terjadi sebelumnya pada Pax Romana (Perdamaian Romawi 27 SM-14 M) ketika era filsafat, hukum, militer, dan Kekaisaran Romawi berjaya. Kemudian dilanjutkan Pax Britannica (Perdamaian Britania Raya) ketika Imperium Inggris berjaya sebagai kolonial (1815-1914), adanya Bank of England, dan dominasi perdagangan Asia, Eropa dan Amerika Selatan.

Pertanyaannya, setelah kedigdayaan Pax Americana (1945-saat ini), negara apa yang memimpin? Apakah pola dunia akan stagnan bersifat unipolar atau multipolar dengan kekuatan para negara great power yang dominan di masa depan?

China menunjukkan percepatan signifikan dalam bidang ekonomi, militer, diplomasi dan teknologi. Tidak hanya melakukan gebrakan ekonomi dengan “Rising China”, tetapi militer dan laut, China semakin responsif dalam sengketa Laut China Selatan. Nine Dash Line (Sembilan garis putus-putus) yang diklaim China yang menjadi perdebatan negara-negara di dunia dalam konflik Laut China Selatan (LCS), juga negara-negara yang secara strategis wilayahnya berdekatan, yakni Brunei Darussalam, Indonesia, Vietnam, Filipina, Singapura, dan Malaysia dimana keberatan akan sikap China.

Baca juga : Pengusaha Logistik Minta Perbaikan Jembatan Marunda Tak Ganggu Ekspor Impor

Organisasi regional Asia Tenggara yakni ASEAN mengharapkan penyelesaian konflik LCS dan menghimbau agar para anggota ASEAN tetap menjaga kawasan perairan tetap damai dan bebas dari nuklir meski ketegangan konflik terus berlanjut. China juga diminta para Menteri Luar Negeri yang berada dalam ASEAN Foreign Minister Meeting (AMM) 2023 mematuhi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS 1982) dan kode tata perilaku (Code of Conduct/COC). Jika mengacu pada Hukum Laut UNCLOS 1982 bahwa LCS tidak dapat dimiliki China semata, melainkan bersama-sama yang statusnya sebagai lautan bebas.

Posisi Indonesia dalam konflik Laut China Selatan (LCS) ini menurut Klaus Heinrich Raditio, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di webinar yang diadakan oleh KAYFA.co.id bahwa Indonesia harus menjadi negara yang kuat dan berdaulat dalam menghadapi konflik LCS, sehingga stabilitas perdamaian dan keamanan kawasan bisa terjaga. Sebab, negara-negara Asia Tenggara sangat bergantung kepada kondisi laut yang damai dan tanpa menghadirkan ketegangan di kawasan Asia Pasifik seperti pakta pertahanan AUKUS (Australia, United Kingdom, United States) yang disebabkan “Kebangkitan China”.

Saat ini, China sedang gencar pada investasi nikel untuk produk teknologi berbasis listrik yang ramah lingkungan. Di saat yang sama, Indonesia bersama Menteri Luar Negeri dalam ASEAN Ministerial Meeting (AMM) Retreat 2023 menekankan pentingnya bagi negara anggota ASEAN menghindari militerisasi akibat persaingan persenjataan antara China dan Amerika Serikat, serta menuntut China patuh terhadap konvensi UNCLOS 1982.

Meski demikian, dalam kerjasama bilateral di bidang ekonomi, Indonesia punya kerjasama yang harmonis dalam industri nikel. Meski, dampak lingkungan industri nikel terhadap Indonesia menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, lazimnya, Pemerintah Indonesia memberi perhatian lebih terhadap pentingnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ini jadi catatan penting kerjasama bilateral Indonesia maupun multilateral dengan China atau negara manapun.

Baca juga : Ganjar Banyak Yang Belain

Geopolitik China tidak terlepas dari pengaruh pemikiran ahli strategis dan geopolitik asal Amerika Serikat di era lampau, seperti Alfred Thayer Mahan, yang juga mempengaruhi geopolitik Amerika Serikat. China menduplikasi pemikiran ahli geostrategis, dan itu sah-sah saja bagi semua negara di dunia untuk meningkatkan kekuatan negaranya. Alfred Thayer Mahan menekankan kekuatan maritim (sea power) dalam geopolitiknya. Menurutnya, kekuatan maritim suatu bangsa bergantung pada enam kondisi: geografi, sumber daya alam, iklim, luasnya teritorial, banyaknya populasi, karakter nasional dan karakter pemerintah.

Mahan menekankan, kekuatan maritim dalam pandangan politiknya akan menyebabkan suburnya perdagangan jalur laut. Ini jadi sebab, suatu bangsa akan kaya dan maritimnya kuat (Mahan, 2007: 589). Ini pula yang melandasi kekuatan laut sebagai core factor atau faktor terpenting dalam hegemoni dunia.

Di sisi lain, Halford J Mackinder, ahli strategis dan geo politik era lampau juga menyatakan, kekuatan daratan adalah faktor utama dalam menguasai dunia. Ada yang masyhur dari Mackinder, tentang Heartland Theory atau Teori Jantung dunia dalam pivot geopolitik, yakni; Siapa yang menguasai Eropa Timur, menguasai jantung. Siapa yang menguasai jantung, menguasai kepulauan dunia. Siapa yang menguasai kepulauan dunia, menguasai dunia (whoever controls eastern Europe, controls the heartland. Whoever controls the heartland, controls the world island. Whoever controls the world island, controls the world).

Di era kontemporer, ada John Mearsheimer yang menekankan aspek kekuatan militer dalam geopolitik, juga Immanuel Wallernstein yang menekankan hegemoni ekonomi dengan world system theory, bahwa dunia ini ada core dan periphery model. Core untuk negara maju, semi periphery bagi negara-negara berkembang, dan periphery adalah negara miskin dengan sumber daya alam tereksploitasi oleh negara-negara core.

Baca juga : Dikritik Karena Blusukan Di Jakarta, Ganjar Banyak Yang Belain

Kemudian Joseph Nye, menekankan ekonomi dan internasional ekonomi sebagai faktor utama dalam hegemoni dunia. Sementara Paul Kennedy, menekankan militer dan ekonomi hegemoni untuk memimpin dunia.

Geopolitik China di era global kontemporer menekankan ekonomi, diplomasi, militer, dan teknologi. Dalam kode geopolitik China “One Belt One Road Initiative” atau Inisiatif OBOR, memiliki proyeksi “Silk Economic Road” atau rute Jalur Sutra Perdagangan berbasis daratan, dari China, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Eropa, yang diperkenalkan oleh penjajah asal Jerman Ferdinand Von Richthofen (1877 M) pada Dinasti Han (206 SM-220 M) yang menghubungkan Asia ke Eropa dalam rute perdagangan dan mempererat diplomasi.

Inisiatif OBOR dihidupkan kembali, dengan mengusung kekuatan maritime China. Di sini, koneksitas negara-negara di jalur yang diklaim China bagi rute perdagangan melalui tapal maritim, sangat bergantung. Sebab, itu adalah wilayah laut lepas dan bebas, yang jika dikomersialisasikan, China akan mendapat keuntungan yang banyak dari aktivitas kapal-kapal di perairan yang berlayar. Hal ini berdampak pada ketegangan militer yang tendensius bagi Amerika Serikat dan sekutu. Maka, hadirlah AUKUS 2021.

Untuk menyiasatinya negara-negara di dunia lebih konstruktivis dalam memandang sengketa LCS ini, muncul kerjasama multilateral dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 2019 dalam kerjasama ekonomi, maritim, dan keamanan militer. Dengan demikian, jalur sutra modern versi OBOR bisa dimanfaatkan bersama dalam kerjasama multilateral untuk peningkatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur dalam poros maritim dunia. Dinamika konflik Laut China Selatan dapat direspon dengan sudut pandang yang konstruktivis, dengan kerjasama multilateral sebagai win-win solution bagi banyak pihak negara. (*)

Anisa Jayanti
Anisa Jayanti
Mahasiswa Studi Islam dan Hubungan Internasional, Pascasarjana UIN Jakarta

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.