Dark/Light Mode

Facebook Larang Konten Pengagungan Kulit Putih

Jumat, 29 Maret 2019 07:31 WIB
Kelompok gerakan supremasi kulit putih di Georgia, AS, ini merupakan salah satu kelompok rasis yang aktif bergerak di sosial media seperti Facebook dan Twitter. (Foto : NBC).
Kelompok gerakan supremasi kulit putih di Georgia, AS, ini merupakan salah satu kelompok rasis yang aktif bergerak di sosial media seperti Facebook dan Twitter. (Foto : NBC).

RM.id  Rakyat Merdeka - Portal media sosial Facebook telah melarang pujian, dukungan dan representasi nasionalisme putih dan radikalisme putih dalam layanannya.

Langkah disambut baik persetujuan Selandia Baru, setelah pembantaian 50 orang di masjid-masjid disiarkan langsung awal bulan ini.

Kelompok-kelompok hak-hak sipil mengatakan, raksasa Facebook telah gagal menghadapi ekstremisme dan itu menjadi sorotan sepanjang bulan ini, setelah seorang tersangka supremasi kulit putih menyiarkan lewat Facebook cuplikan langsung serangannya di Christchurch, Selandia Baru.

Tidak hanya Facebook, YouTube, Twitter Inc dan Alphabet Inc. berada di bawah tekanan untuk menghapus supremasi kulit putih dan konten neo-Nazi dari platform mereka, bersama dengan berita palsu dan jenis postingan kasar lainnya.

Sebagai tanggapan, Facebook meningkatkan tim pemantau kontennya dan menghapus publikasi mempromosikan dan mengatur unjuk rasa oleh kelompok supremasi kulit putih.

Baca juga : Samin Tan Penuhi Panggilan KPK

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang menyerukan agar platform media sosial bertanggung jawab atas apa yang diposkan penggunanya mengatakan, materi yang dicakup tindakan-tindakan tersebut seharusnya sudah dilarang di bawah aturan kebencian Facebook sejak lama.

“Saya senang mereka mengaturnya, dan bahwa mereka telah mengambil langkah itu, tetapi saya masih berpikir bahwa ada percakapan yang bisa dilakukan dengan masyarakat internasional tentang apakah sudah cukup atau tidak langkah tersebut,” ujar Ardern pada konferensi media di Christchurch, kemarin.

Facebook sudah lama melarang konten supremasi kulit putih di bawah pengaturan “kebencian” namun sebelumnya tidak mempertimbangkan konten pengagungan atau nasionalis kulit putih atau radikalis kulit putih sebagai rasis.

Isu supremasi kulit putih kembali bergaung setelah tragedi Christchurch. Karena pelaku penembakan massal, Brenton Tarrant (28) menulis dalam manifestonya, mengagungkan kulit putih, dan menyebut tindakannya ingin melindungi eksistensi kulit putih.

Dilansir Majalah National Geographic dalam situs nationalgeographic.grid.id, ada fenomena ketakutan warga kulit putih kehilangan eksistensinya. Menurut majalah tersebut, diprediksi pada 2044, warga kulit putih non-Hispanik akan kurang dari 50 persen populasi Amerika Serikat. Perubahan demografi yang menyebar ke seluruh penjuru Amerika ini menyulut kegelisahan di antara sebagian warga kulit putih, yang melihat budaya dan posisi mereka terancam.

Baca juga : Facebook Mengeratkan, Pilpres Kok Menceraikan

Bahkan, setelah tambang-tambang batubara ditutup, populasi mulai berkurang dan rumah sakit berada di ambang kebangkrutan, warga Hazleton, Pennsylvania, tetap berbondong-bondong ke tengah kota untuk menyaksikan acara Funfest tahunan.

Salah seorang warga Hazel, Sally Yale, peserta setia Funfest selama bertahun-tahun. Usia Yale 53, tetapi wajah tirusnya bercahaya seperti anak-anak saat berbicara tentang Funfest tersebut. Dia ingat tepuk tangan Warga Hazleton yang pulang untuk perayaan itu. Hal lain yang disenangi yakni makanan festival. Makanan itu cannoli dan pierogi, sosis dan kue corong—penganan yang mewakili gelombang imigran Eropa yang telah menetap di deretan bukit-bukit Hazleton.

Kemudian, semua itu berubah. Funfest, dalam pandangan Sally Yale, menjadi terlalu mengerikan. Kalau boleh jujur terlalu cokelat. “Pokoknya kau tahulah kalau kau pergi ke acara umum, kau tahu akan kalah jumlah,” tutur Yale. “Kau tahu akan jadi minoritas, lalu apa kau tetap mau berangkat?”

Bagi Yale, jawabannya adalah tidak. Kalah jumlah. Kalah jumlah di ruang tunggu dokter. Kalah jumlah di Kmart, tempat kasirnya mengobrol dengan riang dalam bahasa Spanyol.

Hazleton merupakan satu lagi bekas kota tambang batu bara yang mengalami kemunduran sampai ada gelombang kedatangan orang Latin.

Baca juga : Mereka Bersaing, Kenapa Kalian Ikut Pusing..

Pada tahun 2000, penduduk Hazleton yang sejumlah 23.399 jiwa terdiri dari 95 persen kulit putih non-Hispanik dan kurang dari 5 persen Latin. Pada tahun 2016, orang Latin menjadi mayoritas, sebesar 52 persen dari populasi, sementara komposisi orang kulit putih menurun banyak hingga 44 persen.

“Kami bergurau tentang hal itu dan berkata kalau kami sekarang jadi minoritas,” ujar Bob Sacco, seorang bartender di A&L Lounge. “Mereka mengambil alih kota ini. Kami bergurau tentangnya sepanjang waktu, tapi sebenarnya ini lebih dari sekadar gurauan.” [DAY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.