Dark/Light Mode

Untuk Ukuran Malaysia, 812 Ya Besar

Senin, 10 Desember 2018 08:59 WIB
Kerumunan massa aksi 812 di kawasan Masjid Jamek, Pusat Perbelanjaan Sogo dan sekitarnya. Massa menuju Dataran Merdeka untuk menyuarakan aksi tolak ICERD. (Foto: Net)
Kerumunan massa aksi 812 di kawasan Masjid Jamek, Pusat Perbelanjaan Sogo dan sekitarnya. Massa menuju Dataran Merdeka untuk menyuarakan aksi tolak ICERD. (Foto: Net)

RM.id  Rakyat Merdeka - Aksi 812 yang digelar di Malaysia jadi perbincangan warganet. Tak terkecuali publik di Tanah Air. Sebagian penasaran, bagaimana bisa ratusan ribu orang turun ke jalan. Karena untuk ukuran Malaysia, aksi ini terbilang besar. Seperti diketahui, Sabtu (8/12), ribuan orang turun ke jalan memadati Dataran Merdeka, Kuala Lumpur. Peserta aksi mengenakan baju koko putih. Pesertanya beragam. Laki-laki, perempuan. Ibu-ibu, bapak-bapak. Bahkan seperti di reuni 212, ada juga yang membawa anak-anak.

Peserta aksi membawa poster bertuliskan Tolak ICERD atau NO ICERD. Aksi dimulai pada pukul 11 pagi, diawali dengan menunaikan salat Zuhur berjamaah di jalanan, dan dilanjutkan menyanyikan lagu kebangsaan Negaraku. Tak disangka, animo masyarakat membludak. Polisi awalnya memperkirakan peserta yang akan hadir sekitar 50 ribu orang. Sementara panitia, punya perkiraan sekitar 300 ribu orang. Ternyata, jumlahnya membengkak menjadi sekitar 500 ribu orang.

Aksi ini digelar untuk memprotes rencana pemerintah meratifikasi Konvensi Dunia Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (ICERD) yang diajukan PBB. Kenapa diprotes? Jika Malaysia meratifikasi peraturan ini, artinya kedudukan istimewa etnis Melayu di Malaysia dalam perlembagaan kerajaan atau pemerintah, secara otomatis akan terhapus. Padahal selama ini, hak istimewa bangsa Melayu di Malaysia dijamin oleh UU Malaysia. Selain itu, jika pemerintah Malaysia meratifikasi ICERD, pemerintah harus mengakomodir beberapa aturan hak asasi dari ICERD, yang selama ini bertolak belakang dengan perundang-undangan Malaysia. Hukum di Malaysia memang berbeda. Misalnya, warga Melayu akan ditangkap jika ketahuan mabuk, berzinah dan hidup bersama di luar nikah. Tetapi aturan ini tak berlaku untuk non muslim.

Baca juga : Siapkan Gerakan 812, Malaysia Ketularan 212

Gara-gara mendapat protes, PM Mahathir Mohamad pun menunda keputusannya meratifikasi konvensi ini. Warganet di Tanah Air ikut menyoroti aksi 812. Sebagian bersimpati dan mendukung dengan aksi 812. Sebagian lagi mengkritik dan nyinyir. Seperti yang dicuitkan akun @revolutia. "Segini banyak orang turun ke jalan di Malaysia untuk demo menolak penghapusan diskriminasi rasial. Mereka ingin mempertahankan Malaysia sebagai negara rasis dimana beda ras mendapat perlakuan berbeda, kalau tidak mau ada kerusuhan rasial lagi," cuitnya.

Menurut @revolutia, negara harus adil. "Membantu orang miskin, terlepas dari suku, agama atau ras-nya. Selama dia miskin ya wajib dibantu. Masa bantuan diberikan berdasarkan keturunan mana, karena suku anu padahal misalnya sudah kaya raya," ujarnya. Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyebut, aksi 812 dan 212 sangat memiliki kaitan. "Semangat majority privilege (hak mayoritas) itulah yang menghubungkan aksi di Jakarta dengan Kuala Lumpur," kicaunya di akun @burhanMuhtadi.

Sebagai catatan saja, sampai hari ini sebanyak 177 negara sudah meratifikasi konvensi PBB itu. Yang belum antara lain, Malaysia, Korea Utara, Brunei Darussalam, Sudah Selatan, dan negara-negara di Pasifik. Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran DR Teuku Rezasyah mengatakan, jika dilihat dari konstitusinya, Malaysia memang negara Melayu. Secara tradisi juga begitu. Karena memang mayoritas adalah warga Melayu. Reza menilai, apa yang dilakukan Mahathir dengan mau meratifikasi ini tak datang ujug-ujug.

Baca juga : Gerindra Puji Pemerintah

Dalam Pemilu kemarin, Mahathir mendapat dukungan dari kalangan etnis India dan China. Tanpa dukungan mereka, belum tentu Mahathir bisa menang. Mungkin sebagai balas budi atau ada kesepakatan sebelumnya, maka Mahathir pun meratifikasi konvensi PBB tersebut. Reza menyebut, aksi turun ke jalan itu juga tak lepas dari kekhawatiran warga Melayu.

Saat ini, kebanyakan ekonomi warga Melayu tidak semaju etnis China dan India. Artinya, jika pemerintah meratifikasi aturan PBB itu, etnis Melayu takut semakin tertinggal dan didominasi etnis lain. Seperti yang terjadi di negara bagian Penang, Serawak dan Sabah. Di sana tidak ada Sultan. Posisi Sultan diganti oleh jabatan Gubernur Tinggi. Mereka takut Malaysia akan seperti Singapura. "Etnis luar Melayu yang mendominasi di pemerintahan," kata Reza, saat dikontak Rakyat Merdeka, tadi malam.

Menurut Reza, Sebagian etnis Melayu saat ini sebenarnya sudah maju. Tidak lagi tertinggal. Namun, masih ada yang tertinggal. Karena itu, peserta aksi kemarin kebanyakan kelompok garis menengah ke bawah. Yang khawatir makin tersingkir, jika ada kesetaraan ras. Ditambah, Malaysia ketularan aksi 212 yang ada di Jakarta. Melihat bagaimana warga muslim akan punya daya tawar tinggi, jika bergerak bersama.

Baca juga : Najib Razak & Istri Ikut Demo 812

Reza bilang, dalam kasus ini, Mahathir harus bersikap negarawan. Pasalnya, yang hadir dalam aksi kemarin, termasuk besar dalam ukuran Malaysia. Menurut dia, Mahathir akan mementingkan ketentraman dalam negeri dari pada tekanan dari asing. Keputusan Mahathir menunda meratifikasi dinilai bijak. Lebih baik terlambat tapi pasti, daripada pasti tapi salah.

Ia kemudian mengungkapkan kejadian di awal tahun 70-an. Saat etnis melayu mengamuk. Saat itu, partai Melayu pecah dalam beberapa partai. Dalam Pemilu, partai China unggul dan bisa membentuk kabinet. "Kalau etnis Melayu ini tidak direspon tentu ada kekuatiran kejadian dulu terulang kembali," ujarnya. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.