Dark/Light Mode

Ngawur, Samakan Jokowi dengan Orba

Selasa, 11 Juni 2019 07:22 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Benar, tanggal 21 Juni 1994, majalah Tempo-sekalian dengan Editor dan tabloid Detik-ditutup selamanya oleh Departemen Penerangan, langsung tewas. Semua orang tahu dan percaya bahwa pemerintah Orde Baru sangat otoriter.

Pak Harto memerintah dengan tangan besi. Tentu, tangan besi ini tidak seluruhnya jelek, ada hasil-hasil positif juga. Regim otoriter, qua teori, ditandai oleh sejumlah karakteristik, antara lain:

(a) Matinya kebebasan menyatakan pendapat, terutama kebebasan pers;

(b) Rakyat hidup dalam suasana bathin ketakutan;

(c) Penguasa bertahta secara absolut; my words are my law, kata Kaisar Julius Ceaser, salah satu simbol otoritarian;

Baca juga : Stop People Power, Percayakan Jalur Hukum

(d) Konsekuensinya, tidak ada penegakan hukum yang adil, jujur dan transparan;

(e) Rakyat hidup dalam suasana pemilihan umum digelar secara rutin, tapi sudah diatur dari hulu sampai hilir.

Apakah pemerintah Jokowi pantas disamakan dengan pemerintah Orde Baru seperti yang dilansir oleh Guru Besar Melbourne University Law School, Prof Tim Lindsey, seperti dikutip oleh Tim Hukum Kubu-02 yang dipimpin oleh Bambang Widjojanto, S.H?

Menurut Bambang, mantan Komisioner KPK, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, sudah muncul pandangan bahwa pemerintahan Jokowi adalah Neo-Orde Baru, dengan ciri korupsi yang masih massif, dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil.

Kata-kata ini tertulis dalam pembelaan Tim Hukum Prabowo-Sandi. Tapi, benarkah pemerintah Jokowi sudah nyerempet-nyerempet ke Orde Baru ?

Baca juga : Pakailah Kepala Dingin

Jawabannya: Apakah pemerintah Jokowi pernah membredel media? Apakah rakyat Indonesia, sebagian besar, selama 4,5 tahun hidup dalam suara bathin penuh ketakutan? Bagaimana dengan kebebasan menyatakan pendapat? Jokowi dituding bukan Muslim, masih keturunan Cina, PKI, pemerintahnya zalim terhadap umat Islam, antek-Cina, dan sebagainya yang membuat telinga siapa pun”miris”.

Sadis-sadis tohokan terhadap Jokowi selama ini yang sama sekali tidak mempunyai dasarnya! Lalu, apakah pemerintah Jokowi kemudian membabi buta melabrak, dan menangkapi mereka yang melemparkan tudingan sadis itu?

Penegakan hukum di sana-sini memang masih ada lobang-lobangnya, terkesan tebang pilih, namun Jokowi tidak pernah menempatkan dirinya seperti Julius Ceasar yang bekerja dengan motto “My words are my law”.

Jokowi malah kerap dituding lemah, bukan otoriter. Dia terkesan tidak berani menggebuk orang kelompok-kelompok yang bernafsu mengubur Pancasila dan mendirikan negara berideologi lain.

Jika hal ini terjadi pada era Orde Baru, kita semua bisa tahu apa yang bakal dilakukan oleh Presiden Soeharto “Ta’ Gebuk !” untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang hendak menjungkir-balikkan Pancasila!

Baca juga : Zaken Kabinet, Apa Mungkin?

Mengenai pemilihan umum dan pemilihan presiden? Di sana-sini, ya, mungkin saja ada kelemahan, kekurangan dan kecurangan. Tapi, kalau dikatakan sudah diatur dari hulu sampai hilir, disertai ancaman-ancaman fisik/senjata kepada rakyat, NGAWUR.

Kita menyayangkan tudingan itu datang dari seorang “pakar hukum” yang cukup lama berkecimpung di KPK.

Sebaiknya, Bambang Widjojanto dan kawan-kawannya menyodorkan data hukum, fakta hukum dan bukti hukum untuk mendukung tudingannya bahwa Kubu 01 telah melakukan penyelewengan dan penyimpangan yang terstruktur, sistematis dan massif dalam Pilpres yang baru lalu, bukan opini, analisis, berita online, apalagi pendapat sekunder, bahkan tersier.

Para Hakim Konstitusi kelihatannya akan langsung mengkepret argumentasi-argumentasi seperti itu. Pasti! ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.