Dark/Light Mode

Menggagas Fikih Siyasah Indonesia (18)

Bolehkah Non-Muslim Menjadi Kepala Negara? (Pendapat Kedua)

Kamis, 8 Juni 2023 06:12 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Berbeda dengan pendapat pertama yang mengharuskan seorang muslim menjadi Kepala Negara di negara mayoritas muslim, pendapat kedua ini membolehkan Kepala Negara dari non-muslim dengan persyaratan yang disepakati bersama dipenuhi oleh para pihak.

Dasar pertimbangan konseptualnya ialah, konsep negara di dalam masyarakat modern sudah berubah.

Banyak term Fikih Siyasah (Fikih Politik) menjadi abstrak pengertiannya, seperti konsep Ahluz Zimmah yang sering dikonotasikan dengan eksistensi politik kelompok non-muslim (akan dibahas khusus dalam artikel mendatang).

Baca juga : Bolehkah Non-Muslim Menjadi Kepala Negara? (Pendapat Pertama)

Demikian pula definisi “Negara Islam” sekarang menjadi sedemikian kabur ukurannya.

Apakah yang akan diukur populasi penduduknya, eksistensi pemimpinnya, atau kekuatan pengaruh muslim di negeri itu?

Apakah yang secara tekstual dalam konstitusinya menyatakan Islam sebagai Agama Negara, Negara Islam, atau hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya?

Baca juga : Memperhatikan Hak Sosial-Budaya Non-Muslim

Lebih tidak jelas lagi jika populasi muslim di sebuah negara berimbang dengan kelompok agama lain.

Apakah prioritas ukurannya simbol atau substansi? Banyak Negara secara simbolik sebagai Negara Islam (atau muslim) tetapi eksistensi syari’ahnya masih jauh dari maqashid al-syari’ah.

Sebaliknya, ada Negara tidak mengeksplisitkan Islam sebagai agama Negara atau hak-hak istimewa lainnya, tetapi substansi ajaran dan syari’ah dengan bebas dilakukan di sana.

Baca juga : Akhlak Terhadap Kaum Minoritas

Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamu al-Sulthaniyyah seolah menyederhanakan pengertian Kepala Negara itu sebagai Khalifah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya (Kepala Negara ialah seorang pewaris Nabi untuk menjaga keutuhan agama dan kehidupan dunia).

Sikap yang sama juga ditunjukkan Ibn Qayyim al-Jauziyah di dalam Igatsah Allahfan, yang menganggap urusan keberadaan Kepala Negara dalam suatu Negara tidak masuk wilayah akidah dan ibadah, tetapi masuk di dalam wilayah ijtihadi manusia.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.