Dark/Light Mode

Amandemen UUD 1945, Untuk Apa?

Rabu, 16 Oktober 2019 22:02 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Dalam proses penyusunan Amandemen IV pada 2002, sekitar 40% anggota MPR, terutama dari Fraksi PDIP di MPR, sesungguhnya menentang draf kontennya, terutama tentang pemilihan presiden langsung.

Mereka membentuk semacam “kelompok kerja” untuk membatalkannya. Saya mendapat kehormatan diikutsertakan dalam Pokja itu.

Hampir setiap sore kami mengadakan rapat-rapat di sebuah kantor di Jalan Abdul Muis, sementara para anggota dalam Pokja bekerja keras bergerilya di dalam MPR, mencoba mempengaruhi rekan-rekannya yang setuju Amandemen IV untuk balik badan.

Pada saat-saat yang kritis itu, 5 (lima) orang dari Lembaga Pengkajian dan Studi Internasional (LPSI) pimpinan (alm) Jenderal TNI Rudini menghadap Presiden Megawati Soekarnoputri di kantor pusat PDIP, Lenteng Agung.

Delegasi dari LPSI terdiri atas Jenderal Rudini, Tjipta Lesmana, Mayor Jenderal TNI Soemargono, Kolonel (U) Sudjai dan se- orang Guru Besar ekonomi (saya lupa namanya).

Pada kesempatan itu, saya “membujuk” Bu Mega untuk membatalkan Amandemen IV, karena dampak serius terhadap kehidupan politik di dalam negeri jika pemilihan presiden diadakan secara langsung.

Baca juga : Berkaca Pada Kabinet Periode I

Bu Mega galau, hanya menjawab: Ya, terserah para wakil rakyat di MPR. Ia malah menyuruh saya untuk mempengaruhi masyarakat melalui tulisan-tulisan saya di media cetak.

Seorang kader senior PDIP yang dekat dengan Bu Mega di kemudian hari memberitahukan saya bahwa Presiden Megawati membiarkan Amandemen IV lolos karena dipengaruhi oleh seorang kader senior PDIP yang duduk di Panitia Ad Hoc I MPR.

Pemilihan langsung presiden akan menguntungkan Bu Mega, dan Bu Mega pasti terpilih kembali sebagai presiden dengan sistem pemilihan baru itu, begitu bisikan yang diterima Bu Mega.

Tapi, hasilnya, PDIP disalip Partai Demokrat dan Bu Mega terhempas, dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu 2004.

Kini, mencuat kembali gagasan supaya pemilihan presiden-wakil presiden dilakukan oleh MPR. Arah keinginan itu bisa ditebak dengan mudah. Bukankah pemilihan Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR berkat “deal” antara Bu Mega dan Bambang beberapa saat sebelum pemilihan dilangsungkan?

Padahal saat itu, nama Fadli Zon sudah berkibar. Pada menit-menit terakhir, terjadi pula pertemuan tingkat tinggi antara sejumlah petinggi parpol, se- hingga Prabowo Subianto secara mendadak menyatakan Gerindra menarik diri dari pencalonan Ketua MPR.

Baca juga : Jokowi Di Antara Banyak Pilihan

Deal apa yang terjadi antara Bu Mega dan Mas Bambang? Tentu, kita tidak perlu tahu “urusan dapur” kedua sosok politik ini.

Yang jelas, Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar tidak setuju dengan gagasan Amandemen UUD 1945, apalagi dengan wacana pemilihan presiden oleh MPR lagi.

Tentang dimasukkannya kembali GBHN dalam MPR, hal ini bukan masalah yang sepele. GBHN membawa sejumlah implikasi yang serius, dan mau tidak mau akan menyerempet ke pasal-pasal lain UUD 1945.

Jika GBHN dimasukkan lagi dalam MPR, berarti ada jabatan Mandataris MPR, yaitu Presiden/ Mandataris MPR.

Mandataris MPR mengandung makna presiden pemegang kekuasaan pemerintahan UUD 1945 yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan putusan-putusan yang telah ditetapkan oleh MPR. Konsekuensi hukum tata-negara yang lain: MPR adalah lembaga tertinggi negara.

Sekali lagi, amandemen UUD 1945, apa pun scope-nya, apalagi jika usul Nasdem dan Gerindra dituruti, yaitu amandemen UUD 1945 secara MENYELURUH, mau tidak mau akan membawa implikasi hukum yang luas, mau tidak mau akan menimbulkan kegaduhan politik luar biasa.

Baca juga : Mengatasi Papua

Oleh sebab itu, saran kami, MPR membentuk dulu satu Tim, entah apa namanya, yang bertugas pokok membuat kajian serius, cermat dan menyeluruh tujuan, arah, dan narasi amandemen, serta implikasi-implikasi yang akan muncul jika UUD 1945 diamandemen kembali.

Hasil kajian itu–jika disetujui MPR--menjadi naskah akademik yang menjadi pedoman amandemen. Tanpa meremehkan kualitas anggota MPR sekarang, hasil amandemen UUD 1945–jika sepenuhnya dikerjakan oleh para anggota MPR--hampir dipastikan kelak akan menimbulkan “gaduh politik” atau implikasi politik di luar pemikiran kita dewasa ini.

Apalagi, konstelasi politik di MPR saat ini memberikan peluang kepada 5-6 [saja] pimpinan parpol untuk mengendalikan MPR menurut kepentingan mereka sendiri. Bahaya, Bung !! HATI-HATI Presiden Jokowi, jangan sampai masuk perangkap. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.