Dark/Light Mode
- PLN Indonesia Power UBP Priok Siap Amankan Pasokan Listrik Jelang Idul Adha
- Ambarat Ngarep Permanen Di Manchester United
- Timnas Ke Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia, Menpora Ikut Dapat Sanjungan
- Dukung Program Merdeka Belajar, Bank DKI Jalin Kerja Sama Dengan UNS Surakarta
- Italia Vs Albania, Gli Azzurri Ngarep Pertahankan Gelar
Sebelumnya
Walaupun Ibnu ‘Arabi termasuk sufi namun berbeda dengan sufi-sufi lainnya yang lebih menekankan aspek tasybih dan menafikan aspek tanzih, karena bagaimanapun juga Zat Tuhan adalah transenden dan sunyi dari segala aspek ketidak sempurnaan (munazzah). Ibnu ‘Arabi mengkhawatirkan kalau menafikan aspek tanzih seseorang bisa jatuh ke lembah kemusyrikan, karena menduplikasikan Tuhan dengan makhluknya.
Dari segi Zat-Nya, Tuhan tidak pernah dan tidak akan pernah diketahui oleh siapun juga. Ia tak dapat dipikirkan dan tak dapat dilukiskan dengan sesuatu apapun. Kalaupun ada orang yang menganggap dirinya berhasil mengetahui dan memahami zat Tuhan pasti itu bukan Tuhan atau Tuhan menurut persepsi yang bersangkutan.
Dalam beberapa artikel lalu sudah dijelaskan bagaimana misteri Zat Tuhan dalam berbagai agama. Hampir semua agama sama bahwa Zat Tuhan Maha Misteri. Pengetahuan kita tentang Zat Tuhan hanya sejauh Tuhan berikan kepada kita melalui asma’ dan sifat-Nya.
Baca juga : Allah: A God dan The God (3)
Dari segi asma’ dan sifat-Nya Tuhan dapat diketahui melalui cosmos dan prilakunya. Jika Tuhan menyatakan diri-Nya melihat, mendengar, dan mencintai, maka itu artinya Tuhan mengejawentahkan diri-Nya kepada cosmos, yaitu Tuhan berkorespondensi dengan makhluk-Nya. Seperti diketahui bahwa Tuhan adalah substansi (jauhar) seluruh makhluk, maka wujud ke-Dia-an (Huwiyyah)-Nya ialah setiap apa yang melihat, mendengar, dan mencintai maka itulah jauhar-Nya. Jika kita melihat yang al-khalq (makhluk) maka ssungguhnya kita melihat al-Haq (Tuhan). Al-Haq memiliki sifat-sifat yang dimiliki al-khalq, yaitu sifat-sifat al-Muhdatsah. Sebaliknya al-khalq memiliki sifat-sifat al-Haq.
Ibarat satu mata uang yang mempunyai dua sisi, yaitu sisi tanzih dan sisi tasybih. Tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya tidak paradoks melainkan masing-masing mempunyai makna dan fungsi.
Penyatuan antara kedua kualitas ini sesuai dengan asumsi ontology Ibnu ‘Arabi yaitu kesatuan wujud (wahdah al-wujud).
Baca juga : Allah: A God Dan The God (3)
Kata Dia (Huwa) yakni Dia yang Maha Dia, bukan selain-Nya. Sedangkan selain-Nya bukan Dia Yang Maha Dia (la Huwa). “Huwa la Huwa” mempunyai dua aspek, yaitu aspek pertama (Huwa) dalam bentuk positif, menegaskan adanya tasybih, yaitu keserupaan Tuhan dengan kosmos. Bagian kedua (la Huwa) dalam bentuk negative, menegaskan tanzih, yaitu tiadanya keserupaan antara Tuhan dan kosmos.
Penjelasan Ibnu ‘Arabi ini hanya bisa difahami lebih jelas manakala memahami secara utuh konsep wahdah al-wujud-nya yang di dalamnya terdapat konsep keterpaduan dari berbagai hal yang berdiri sendiri (al-jam’u baina al-‘addat), yang menghubungkan antara ketakterbandingan dan keserupaan (incomparability and similarity), antara Yang Satu dan Yang Banyak (the One) (the Many), Keagungan dan Keindahan (Majesty and Beauty), dan pembedaan dari Yang Tak Terbedakan (the differentiation of the Undifferentiated).
Artikel ini tayang di Harian Rakyat Merdeka Cetak, Halaman 8, edisi Selasa, 2 April 2024 dengan judul "Living Qur’an (21) Allah: Huwa la Huwa"
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.