Dark/Light Mode

Isu-isu Islam Kontemporer (42)

Kedudukan Politik Nabi Muhammad (5)

Rabu, 12 Februari 2020 06:13 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. Al-Hujurat/49:13).

Pilihan politik nabi meninggalkan tradisi politik yang berpola kesukuan (qabiliyyah) ke dalam tradisi politik ummah, apakah itu pilihan pribadi nabi dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan di Madinah atau pilihan itu atas bimbingan wahyu?

Agak sulit menjawab secara skematis pertanyaan ini, karena selain adanya ayat yang menegaskan pola egaliterianisme sebagai antitesa terhadap pola kesukuan, juga secara rasional pola kepemimpinan berdasarkan ummah lebih mudah diterima banyak pihak.

Baca juga : Kedudukan Politik Nabi Muhammad (4)

Memang agak sulit juga kita membedakan atau memilah kapasitas nabi sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai nabi dan Rasul, karena nabi memang tidak pernah penampilkan sikap birokrasi kearaban di dalam memimpin masyarakat Madinah.

Pola elitis dengan gaya pemimpin kerajaan yang otoriter dan hidup gemerlapan, samasekali tidak pernah tergambar pada diri nabi.

Bahkan sebaliknya, nabi menampilkan etika politik dan pemerintahan yang sangat egaliter, bersahaja, dan penuh keakraban dengan rakyatnya.

Baca juga : Kedudukan Politik Nabi Muhammad (3)

Ia sendiri tidak pernah menyebut anggota masyarakatnya sebagai rakyat tetapi lebih popular dengan sebutan sahabat.

Dengan demikian, relasi antara nabi Muhammad dengan rakyatnya tidak menonjolkan relasi pemimpin dan rakyat, tetapi nabi atau Rasul dengan ummat.

Pola relasi yang terakhir ini lebih menonjol sebagai vocab bahasa agama ketimbang vocab bahasa politik.

Baca juga : Kedudukan Politik Nabi Muhammad (2)

Inilah yang dijadikan alasan kelompok yang memandang otoritas nabi Muhammad sebagai Kepala Pemerintahan bukan di luar kontek kerasulan, sehingga kebijakan politiknya tidak menjadi hujjah bagi umatnya, melainkan hanya menjadi pertimbangan moral, yang tidak wajib untuk diamalkan.

Berbeda jika dikatakan kapasitas nabi Muhammad sebagai nabi dan Rasul serta sebagai Kepala negara merupakan satu paket, keseluruhan tindakan dan kebijakannya harus diikuti secara utuh tanpa melakukan pemilahan antara dirinya sebagai nabi dan Rasul dan sebagai Kepala Pemerintahan Madinah.

Konsekwensinya, jika mengatakan nabi Muhammad sebagai Kepala Pemerintahan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kerasulannya, maka keseluruhan tindakan dan kebijakan nabi juga harus dianggap suci dan wajib diikuti umatnya.***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.