Dark/Light Mode

Jika Biden Menang, Apa Yang Akan Dilakukan Trump?

Jumat, 6 November 2020 07:56 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemilihan presiden Amerika Serikat 2020 di ambang rusuh dan tindak kekerasan. Hal ini, sebetulnya, sudah diantisipasi sebelumnya oleh banyak pihak. Kenapa? Karena petahana, Donald Trump sejak awal amat yakin dirinya akan terpilih kembali. Sebaliknya, lawannya, Joe Biden dengan tenang mengemukakan keyakinan [juga] bahwa ia akan memenangkan pemilu. Menurut banyak polling, Biden memang akan memenangkan pilpres karena begitu banyak rakyat Amerika yang tidak senang dengan kepemimpinan Trump. Meskipun pandemi Covid-19 semakin “gila”, toh Trump tetap tenang-tenang saja. Ia cenderung membuka pintu, tidak mau menerapkan kebijakan PSBB apalagi lockdown. Bahkan setelah terpapar positif Corona, dirawat dan kemudian keluar dari rumah sakit, Trump menolak mengenakan masker.

Pada kampanye-kampanye menjelang Hari-H 3 November 2020, Trump tidak pernah memakai masker. Faktor kedua yang membuat sebagian [besar] rakyat tidak suka Trump, perekonomian semakin susah. Orang miskin makin banyak, angka pengangguran meningkat tajam. Jumlah PHK juga berlipat-ganda, meski pemerintah menggelontorkan “Bansos” secara merata.

Baca juga : Rusuh Dan Siaga TNI

Semua orang sudah tahu, Donald Trump berwatak sombong alias arogan. Kebijakannya di berbagai sektor hampir selalu membuka front-anti dari rakyat. Toh, dia tidak peduli dengan protes-protes dari mana pun. Ia sudah berkali-kali memecat pejabat tingginya, termasuk Jaksa Agung dan Direktur FBI. Konflik rasial nyaris pecah di berbagai negara bagian. Toh, Trump tetap saja bersuara keras, seolah menantang kelompok mana saja, terutama Black Americans, yang melawan kebijakannya yang kontroversial.

Di forum internasional, pemerintah Trump yang mengibarkan tinggi-tinggi semboyan “America First”, telah mengundang kecaman dari banyak negara. Nyaris seluruh pemerintah di Eropa Barat tidak suka pada Trump. Kanselir Jerman, Merkel, pernah “didamprat” Trump di depan para pemimpin dunia. Dengan Perdana Menteri Skotlandia, Nicola Sturgeon, ia pun pernah “clash berat” gara-gara kebijakannya menerapkan tarif 25% untuk anggur Skotlandia yang masuk ke Amerika.

Baca juga : Jurnalistik Ofensif: Najwa Versus Luhut

Untuk kepentingan “America First”, pada 2017 Trump menyatakan pemerintahnya akan menarik diri dari Paris Climate Agreement. Dan mulai kemarin, 5 Nopember 2020, AS resmi keluar dari Perjanjian Paris itu. Keanggotaan AS di WHO juga dihentikan dengan alasan “tidak berguna”. Dia menuding WHO berkonspirasi dengan China soal pandemi Corona. Yang tidak kalah mengenaskan, perjanjian Trans-Pacific Trade Union (TPP) yang dibentuk oleh Presiden Obama juga dgugurkan oleh Trump.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.