Dark/Light Mode

Ilmuwan Dorong Pendataan Prilaku Gempa

Waspada! Lihat Sejarah; Gempa Banten Belum Puncak

Sabtu, 3 Agustus 2019 02:16 WIB
(Foto Shutterstock)
(Foto Shutterstock)

RM.id  Rakyat Merdeka - Gempa terasa di Jakarta pukul 19.05 WIB, Jumat (2/8). Sangat dirasakan dari lantai Mushalla Gedung Graha Pena Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Lumayan lama dan kuat. Sekitar 1 menit.

"Ehh gempa, gempa," kata teman yang menunggu isya. Di musholla di lantai bawah saja lumayan keras. Kipas angin gantung tampak bergoyang.

"Sepertinya ini gede, goyangan mengayunnya terasa banget, gimana yang di lantai 8," kata teman dari surat kabar Rakyat Merdeka mengingat beberapa rekannya masih di ruang atas.

"Ya Allah di mana gempa, lihat Twitter atau SMS, biasanya tiga menit usai goncangan ada info, ada potensi tsunami atau tidak," yang lain menyeletuk. Usai salat kami naik ke lantai 8.

"Kami tadi berlarian ke tangga mau turun, kencang banget goyangnya, jadi pusing," kata temen yang di lantai 8. Tapi ada juga yang tetap anteng duduk bekerja.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) awalnya merilis gempa itu terjadi pada Jumat (2/8), pukul 19:03:21 WIB, dengan pusatnya pada koordinat 104,58 derajat BT dan 7,54 derajat LS, dengan magnitudo 7.4 pada kedalaman 10 km, berjarak 137 km barat daya Sumur, Banten. Gempa bumi itu berpotensi tsunami dan menetapkan status siaga, yakni Banten di Pandeglang bagian selatan dan Pandeglang Pulau Panaitan, serta Lampung di bagian Lampung Bbarat dan pesisir selatan.

Baca juga : Status Gunung Tangkuban Parahu Naik Jadi Waspada, Ini Arahan PVMBG

“Status siaga, kemungkinan ketinggian tsunami setengah meter hingga maksimal tiga meter,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Jumat (2/8). Sejumlah daerah ditetapkan waspada di antaranya Provinsi Banten, seperti Pandeglang bagian utara, Lebak dan Serang bagian barat.

Di Provinsi Lampung peringatan waspada untuk daerah Pulau Tabuan, Tanggamus bagian timur, Kepulauan Krakatau, Kepulauan Legundi, Pesisir Tengah dan Utara di Lampung Barat hingga Kepulauan Sebuku di Lampung Selatan. Status waspada juga diberikan di Provinsi Bengkulu untuk Pulau Enggano di Bengkulu Utara, Kaur, Bengkulu Selatan dan Seluma. Di Provinsi Jawa Barat status waspada diberikan untuk Ujung Genteng di Sukabumi.

“Status waspada, kemungkinan ketinggian tsunami maksimal setengah meter,” ujarnya. Dia mengimbau masyarakat tidak panik dan menjauhi pantai pascagempa itu.

Sesuai standar operasional prosedur (SOP) pencabutan status peringatan tsunami dilakukan dua jam kemudian. Sekitar pukul 21.35 WIB, BMKG mencabut status peringatan tsunami dan memutakhirkan data. Bahwa gempa itu berkekuatan magnitudo 6,9 di barat daya Sumur, Banten pada Jumat (2/8) pukul 19:03:21 WIB. Pusatnya terletak pada koordinat 104,75 derajat BT dan 7,32 derajat LS pada kedalaman 48 km, berjarak 164 km arah barat daya Kota Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Episentrum gempa berada di wilayah Samudra Hindia di sebelah selatan Selat Sunda. Lokasi episenter dan kedalaman hiposenter gempa bumi yang terjadi, merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat deformasi batuan di dalam Lempeng Indo-Australia. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa bumi terjadi dengan mekanisme pergerakan naik atau patahan akibat dari patahan naik di dalam Lempeng Indo-Australia tersebut.

Hasil akhir BMKG tidak berbeda dengan siaran pers Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebutkan gempa bumi disebabkan aktivitas penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. PVMBG mengutip Informasi dari Unites States Geological Survey (USGS) yang mencatat gempa bumi pada koordinat 104,806 derajat BT dan 7,29 derajat LS dengan magnitudo 6,8 pada kedalaman 42,8 km.

Baca juga : PLN, Pertamina, dan PGN Siap Serap Gas Masela

Dilansir Antara, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan gempa tersebut belum puncaknya. Pusat gempa di bagian selatan Selat Sunda itu merupakan kawasan yang ditandai sebagai zona sepi gempa besar, sementara itu merupakan kawasan dengan subduksi aktif.

Daryono mengatakan, ketidakadaan gempa selama ini dianggap sebagai proses akumulasi dari medan tegakan kerak bumi yang sedang berlangsung.

“Di daerah Selat Sunda, catatan kami tidak ada gempa di atas magnitudo 7,0,” katanya.

Menurut catatan BMKG, pernah terjadi di bagian selatan Banten gempa bumi dengan magnitudo 7,9 pada 1903, yang merupakan gempa terakhir. Dia tidak dapat memperkirakan secara statistik proses berulang gempa bumi itu, karena proses akumulasi medan tegakan kulit bumi tidak bisa distatistikkan.

Daryono menyatakan sebuah kawasan subduksi aktif tetapi tidak pernah terjadi gempa, dapat diduga kawasan itu sedang terjadi proses akumulasi medan tegangan, di mana ada proses penumpukan energi yang terkandung dalam kulit bumi.

“Kalau melihat hasil hitungan potensi gempa, ini belum puncaknya, karena potensi maksimal dapat mencapai magnitudo 8,7. Potensi itu tidak bisa diperkirakan dan kapan saja bisa terjadi,” jelas dia. 

Baca juga : Gelar Pengobatan Gratis, Gempari Pulihkan Korban Banjir Gowa

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan umumnya gempa sekitar magnitudo 7,4 memiliki waktu perulangan 30-50 tahun. Dia mengatakan tidak ada data detail dan pasti, terkait sejarah atau siklus gempa yang terjadi di lokasi yang hampir sama dengan yang terjadi Jumat (2/8) malam yang berpusat di Banten. Padahal, jika ada pencatatan sejarah maka dapat diketahui perilaku gempanya.

Di selatan Jawa, berdasarkan catatan sejarah, pernah terjadi gempa yang lebih besar dari magnitudo 7,4, bahkan mendekati skala 9. “Sudah dapat dipastikan akan terjadi lagi meski tidak tahu waktunya kapan,” ujarnya.

Eko menjelaskan penelitian di selatan Jawa menemukan bukti, tsunami raksasa dengan artian ada gempa raksasa yang juga pernah terjadi. Penemuan LIPI yang disesuaikan dengan data sejarah, kejadian itu sekitar 400 tahun lalu yang diduga sekitar 1584 atau 1586.

Gempa merupakan siklus pengumpulan energi dan kemudian dilepaskan dan selalu berulang. Semakin besar energi yang dilepaskan, maka semakin besar lama waktu yang diperlukan untuk mengulang kembali.

Eko menuturkan perlunya pendataan dan penelitian komprehensif sejarah kegempaan dan tsunami yang lebih detail di seluruh wilayah Indonesia, baik darat maupun lautan, untuk mengetahui perilaku gempa.

Pelaporan gempa di Indonesia baru dimulai ketika alat seismometer ada di Tanah Air, yakni sekitar 1850-an akan tetapi belum masif saat itu. [MEL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.