Dark/Light Mode

Soal Karantina Jakarta

Anies Yang Berencana, Jokowi Yang Batalkan

Rabu, 1 April 2020 09:53 WIB
Ilustrasi Monumen Nasional di Jakarta Pusat. (Foto: Putu Wahyu Rama/RM)
Ilustrasi Monumen Nasional di Jakarta Pusat. (Foto: Putu Wahyu Rama/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Rencana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan karantina Jakarta batal terlaksana. Soalnya, Presiden Jokowi tidak menyetujui usulan tersebut. Jokowi lebih memilih menerbitkan Peraturan Pemerintah soal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan Keppres soal Kedaruratan Kesehatan untuk mengatasi corona.

Usulan karantina disampaikan Anies melalui surat yang dikirim, Sabtu (28/3). Eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu sudah menyiapkan skenario saat karantina diberlakukan. Mulai dari sektor mana saja yang masih bisa beraktivitas, distribusi logistik sampai pembatasan warga dan kendaraan berpergian ke luar maupun masuk ke ibu kota.

Bahkan, akhir pekan lalu, Polisi sudah mulai latihan menutup akses masuk ke ibu kota. Anies mengklaim, usulan karantina wilayah itu mengacu pada arahan Presiden mengenai pembatasan sosial berskala besar sesuai dengan UU No.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Sebelum mengusulkan karantina, Anies sebenarnya sudah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial. Seperti meliburkan sekolah, menunda kegiatan agama, anjuran bekerja di rumah bagi PNS dan pegawai swasta dan sebagainya.

Hanya saja, kebijakan itu dirasa belum efektif mengurangi penyebaran virus corona. Dengan diberlakukan karantina, Anies berharap ada ketetapan hukum sehingga Pemprov bisa melakukan penegakan hukum.

Baca juga : Kepala RS Yang Bertemu Putin Pekan Lalu, Dinyatakan Positif Covid-19

Lalu bagaimana tanggapan Istana? Jubir Presiden, Fadjroel Rachman mengatakan, Presiden menolak permintaan Anies. Menurut dia, pemerintah pusat memilih menerapkan pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan dan hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju darurat sipil. "Tidak diterima, itu otomatis ditolak,” kata Fadjroel, kemarin pagi.

Meski begitu, Fadjroel mengatakan, pemerintah daerah masih bisa menerapkan isolasi terbatas di wilayahnya. “Walaupun ada kebijakan, sebenarnya bisa dikerjakan nanti oleh Pemda dengan istilah isolasi terbatas. Ada tingkat RT, RW, desa/kelurahan dengan kebijakan gubernur, misalnya. tapi, kalau tingkatan nasional atau provinsi itu harus di tangan Presiden. Tapi Presiden tidak mengambil karantina wilayah,” ucapnya.

Menurut Fadjroel, alasan Jokowi tidak menerapkan karantina wilayah lantaran tak ingin Indonesia mengalami masalah seperti yang terjadi di India maupun Italia. Karantina wilayah di dua negara itu, ternyata menimbulkan kekacauan sosial.

“Kalau tidak direncanakan secara terukur, Presiden menganggap Indonesia sudah cukup dengan pembatasan sosial,” katanya.

Tanda-tanda penolakan ini sudah terasa sejak Senin lalu. Menko Polhukam, Mahfud MD sempat berujar pemerintah akan merampungkan dulu Peraturan Pemerintah soal Karantina Kewilayahan untuk membahas usulan Anies. Hanya saja, pada Senin lalu beleid itu tak dibahas dalam rapat terbatas.

Baca juga : Anies Minta Lockdown Ke Jokowi

Pembahasan hanya terkait pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar dan aturan mengenai mudik. Lalu apa solusi Istana untuk mengurangi penyebaran virus corona?

Kemarin sore, Jokowi mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk penanganan pandemi virus corona. Pertama, mengeluarkan PP pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Menurut dia, PP tersebut sudah sesuai dengan UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kedua, Jokowi meneken Keputusan Presiden atau Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. “Dengan terbitnya PP ini semuanya jelas. Para kepala daerah saya minta tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi, semua kebijakan di daerah harus sesuai dengan peraturan, berada dalam koordinator undang-undang, dan PP serta Keppres tersebut,” kata Jokowi.

Jokowi menyebut dengan dua beleid itu Polri dapat mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang terukur dan sesuai dengan undangun dang agar PSBB dapat berlaku secara efektif dan mencapai tujuan mencegah meluaskan wabah.

Jokowi mengajak masyarakat belajar dari pengalaman dari negara lain dalam melakukan pembatasan atau lockdown. “Kita tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi. Semuanya harus dihitung. Semuanya harus dikalkulasi dengan cermat. Dan inti kebijakan kita sangat jelas dan tegas,” cetusnya.

Baca juga : Mahfud Meluruskan, Karantina Kewilayahan Beda dengan Lockdown

Isi peraturan itu antara lain, pertama mengendalikan penyebaran corona dan mengobati pasien yang terpapar. Kedua, menyiapkan jaring pengaman sosial untuk masyarakat lapisan bawah agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan men jaga daya beli.

Ketiga, menjaga dunia usaha utamanya usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah agar tetap beroperasi dan mampu menjaga penyerapan tenaga kerjanya. Keempat, menyiapkan bantuan untuk masyarakat lapisan bawah. Misalnya, meningkatkan jumlah keluarga penerima PKH, Kartu Sembako, dan kartu Prakerja.

Selanjutnya, pemerintah mencadangkan Rp 25 triliun untuk pemenuhan kebutuhan pokok serta operasi pasar dan logistik. terakhir, ada lah perihal keringanan pembayaran kredit.

Lalu Apa beda Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar?

Pengamat sosial politik dari UNJ, Ubedilah Badrun mengatakan, perbedaan paling utama dalam dua kebijakan itu dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga. Dalam karantina, pemerintah diwajibkan memenuhi kebutuhan pokok warga. Dalam kebijakan pembatasan sosial berskala besar pemerintah tidak punya kewajiban memenuhi kebutuhan dasar warganya. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.