Dark/Light Mode

Muhammadiyah Nilai Sistem Ketatanegaraan RI Rawan Penyimpangan, Perlu Ada Perbaikan

Kamis, 17 Maret 2022 13:27 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Jimly Asshiddiqie. (Foto: Ist)
Pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Jimly Asshiddiqie. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - PP Muhammadiyah menilai, ada gejala deviasi hingga distruksi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini. Karena itu, sistem ketatanegaraan butuh perbaikan serius.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti menyebut, masih banyak yang perlu dikaji dalam sistem ketatanegaraan Tanah Air. Dari sistem presidensial, sistem pemilu, sistem otonomi daerah, hingga berbagai lembaga.

"Memang setelah dievaluasi terjadi overlapping yang membuat penyelenggaraan negara tidak efektif. Berbagai sistem yang sekarang berjalan memang perlu untuk dikaji ulang eksistensinya. Terutama yang memang berpotensi untuk menimbulkan berbagai permasalahan," tuturnya.

Baca juga : Gus Muhaimin Terima Mandat Sebagai Inisiator Pengembangan Ekonomi Ternak

Hal itu disampaikannya dalam Seminar Pra Muhtamar Muhammadiyah Aisyiyah ke-48 bertajuk 'Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia' di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dikutip Kamis (17/3).

Mu'ti mengkritisi pelaksanaan sistem presidensial, di mana, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah. Juga, sistem parlemen tentang kondisi ideal peranan DPR dan DPD.

Banyak kajian yang menemukan, DPD tidak begitu efektif sebagai sebuah lembaga negara. Kewenangan konstitusional DPD, seharusnya bisa diperkuat lagi.

Baca juga : Srikandi PLN Berperan Aktif Dalam Pengurangan Emisi Karbon

Kemudian, Mu'ti juga menyoroti DPD yang ternyata juga banyak yang diusung partai politik (parpol). "Walaupun dia bukan representasi partai politik, tapi yang mengusungnya parpol, misalnya begitu," bebernya.

Dalam acara tersebut, Ahli Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie mengatakan, saat ini dibutuhkan rekonstruksi sistem ketatanegaraan, serta strategi pembangunan sistem hukum dan politik di Indonesia. "Perlu adanya penataan dalam institusi negara," jelasnya.

Jimly menuturkan, sistem konstitusi Indonesia mengalami pembaruan dan perkembangan yang mendasar. Namun problematika warisan budaya masa lampau belum mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman modern.

Baca juga : Basarah Nilai Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara Sudah Objektif

Warisan budaya feodal, katanya, masih sangat dominan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara. Problem warisan budaya feodal yang terus dominan pengaruhnya dalam politik dengan mudah mempengaruhi terbentuknya sistem dinasti dalam politik nasional dan daerah di seluruh Indonesia.

Kendala lainnya, makin kuatnya pengaruh modal. Sebab, ada fenomena ongkos politik yang semakin mahal biayanya. Dampaknya, dunia usaha semakin dominan pengaruhnya dalam proses-proses demokrasi politik bernegara.

"Sehingga konflik kepentingan antara bisnis dan politik terus berkembang luas dalam praktik," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.