Dark/Light Mode

Pedalaman Papua Butuh Pengobatan Malaria & TBC

Dr. Sri Haryati, Prakteknya Ke Tempat Yang Tak Ada di Peta

Selasa, 6 September 2022 10:22 WIB
Dokter Sri Haryati bersama Rakyat Merdeka, di tengah warga masyarakat yang datang ke Klinik Siloam di Korupun, pedalaman Papua. (Foto: Ratna Susilowati)
Dokter Sri Haryati bersama Rakyat Merdeka, di tengah warga masyarakat yang datang ke Klinik Siloam di Korupun, pedalaman Papua. (Foto: Ratna Susilowati)

RM.id  Rakyat Merdeka - Masalah kesehatan di pedalaman Papua, saat ini menghadapi tantangan baru. Imbas pandemi yang sudah berlangsung tiga tahun, berpengaruh kepada ketersediaan obat dan logistik. Sehingga, banyak pasien malaria tidak mendapatkan layanan memadai.

Dokter Sri Haryati yang sudah bertahun-tahun melayani pasien di pedalaman Papua menemukan, kasus malaria sangat tinggi belakangan ini. Namun, terkendala keterbatasan diagnostik. Tidak ada alat tes cepat untuk mendeteksi malaria. Juga obat-obatnya, kurang tersedia.

Rakyat Merdeka bertemu Dokter Sri Haryati yang akrab disapa Dokter Ati, pada 1-2 September 2022. Saat makan malam di Sentani, Jayapura dan berlanjut dengan terbang menuju pedalaman Papua, ke distrik Korupun dan Nalca.

Kami satu pesawat, duduk bersebelahan. Dari Sentani, terbang ke Korupun dengan pesawat kecil, 8 tempat duduk, selama 1 jam 15 menit.

Dari situ, berlanjut ke Distrik Nalca, sekitar 15 menit lewat udara.

Berikut videonya:

Dokter Sri Haryati menjelaskan penyakit yang banyak dialami penduduk Papua, Kamis (1/9). (Video: Ratna Susilowati/RM)

“Kami berharap, Pemda terutama setelah pemekaran provinsi yang baru di Papua, akan lebih memperhatikan kondisi yang dihadapi masyarakat pedalaman,” katanya.

Pada Juni 2022, DPR mengesahkan UU Pembentukan Daerah Otonomi Baru di Papua. Ada tiga provinsi baru di Papua. Yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan.

Baca juga : Perusahaan Binaan Ditjen Perkebunan Raih Kontrak Rempah Rp 61 M Di Italia

Ini berarti, di Papua sekarang ada lima provinsi. Dua lainnya adalah Provinsi Papua Barat dan Papua (Daerah Khusus) di Jayapura.

Bagaimana cara mendapatkan obat Malaria? Kata Dokter Ati, ketersediaan DHP, obat malaria, sempat terkendala.

“Semoga, pekan ini sudah bisa diadakan kembali. Mungkin karena selama ini fokus kita bergeser mengurus pandemi, jadi program rutin lainnya agak terpengaruh,” kata dia.

Selain malaria, di pedalaman juga banyak ditemukan kasus TBC dan HIV.

“Sering tidak bisa ditangani dan harus dirujuk ke kota, untuk pengecekan sampelnya. Kami butuh dukungan pihak terkait, untuk ketersediaan alat pemeriksaan,” ujarnya.

Sebagai Koordinator Resident Medical Officer di Siloam Clinic Papua, Dokter Ati mengatakan, ada program penting di pedalaman untuk menangani stunting, yaitu membangun kolam lele dan beternak ayam petelur.

“Setiap hari, ayamnya bertelur. Tetapi, sementara ini, ayam petelur distop karena biaya angkut pakannya sangat mahal. Harganya naik sampai 9 kali lipat,” kata Dokter Ati.

Sehingga, setiap Jumat, kami lebih baik membawa telurnya. Yang sudah matang, supaya bisa langsung dimakan.

Baca juga : Peringatan Hari Kartini, Inilah Para Wanita Tangguh Yang Sukses Bangun Pertanian

 


Dokter Sri Haryati sedang menjelaskan program penanganan stunting untuk warga pedalaman Papua. (Video: Ratna Susilowati)

 

Dokter Ati mengabdi di Papua sejak sembilan tahun lalu. Lulus dari Kedokteran UI, dia sempat bekerja di Jakarta.

Tahun 2013, Dokter Ati mulai membantu membangun klinik dan sekolah bersama Yayasan Harapan Papua. Misi awalnya, mendampingi siswa. Agar tidak ada anak atau keluarganya yang meninggal.

“Kalau ada anggota keluarga yang meninggal, berarti siswa itu berhenti sekolah. Mereka akan disuruh ke ladang dan bekerja, mengurus kebun atau ternaknya,” ungkap Dokter Ati.

Dulunya, anak-anak pedalaman Papua tidak ada yang mengurus. Tidak ada yang memberi semangat. Tidak ada yang mengobati kalau sakit. Sekarang, mereka senang, ada Sekolah Lentera Harapan dan Klinik Siloam.

Ke mana saja Dokter Ati memberi pengobatan? “Kami masuk ke tempat-tempat yang biasanya tidak ada di peta. Sulit diakses,” katanya.

Baca juga : Tito: Pak Jokowi Tak Mau Ada Penyekatan

Bahkan, Dokter Ati pernah mengobati orang dari suku Korowai, yang tinggalnya di pepohonan.

“Kalau mereka tak mau turun, ya kita yang naik ke atas pohon. Bisa sampai setinggi 20-an meter,” ujar Dokter Ati.

Tanggal 17 Agustus lalu, baru dibuka sekolah dan klinik di Asmat. Akses menuju ke sana juga sulit. Untuk mencapai lokasi, perlu naik boat sampai 4 jam di laut.

Hidup mereka mengandalkan air hujan. Sehingga, saat kemarau, banyak yang dehidrasi.

“Di Asmat, banyak kasus TBC, malaria dan HIV,” katanya.

Bagaimana pandemi di pedalaman Papua? Apakah ada kasus Covid yang ditangani? Kata Dokter Ati, Covid tidak terdeteksi di pedalaman.

Tapi, ada satu masa di akhir tahun 2020, jumlah yang meninggal, termasuk balita cukup banyak.

“Kita tidak mengetahui apa penyebabnya, karena tidak ada alat tes Covid. Dan saat itu, orang juga takut datang ke rumah sakit,” paparnya. â– 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.