Dark/Light Mode

KPK Telusuri Aliran Dana Meikarta Ke Pihak-Pihak Lain

Selasa, 30 Juli 2019 16:22 WIB
Jubir KPK Febri Diansyah. (Foto: Tedy Kroen/Rakyat Merdeka)
Jubir KPK Febri Diansyah. (Foto: Tedy Kroen/Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aliran dana suap proyek Meikarta besutan Lippo Group ke pihak-pihak lain. "KPK sedang terus menelusuri aliran dana selain yang mengalir pada para tersangka yang sudah diproses saat ini," ungkap Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (30/7).

Saat ini, KPK sudah memproses 11 orang dalam kasus tersebut. Teranyar, 2 orang ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya adalah eks Presiden Direktur Lippo Cikarang Bartholomeus Toto dan Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat Iwa Kurniwa. 

Bartholomeus dijerat KPK sebagai tersangka karena diduga memberi suap kepada eks Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin sebesar Rp 10,5 miliar untuk memuluskan Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT) proyek Meikarta. 

Sementara Iwa ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap Rp 900 juta. Duit itu diduga terkait pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi.

Febri mengatakan saat ini komisi antirasuah masih mencermati peranan berbagai pihak dalam kasus dugaan suap perizinan Meikarta. "Karena jika kita membaca tentang arus uang di kasus ini, diduga ada beberapa cabang atau kepentingan yang diurus untuk memuluskan pembangunan Meikarta tersebut," bebernya.

Baca juga : Pansel Capim KPK Pelajari 900 Laporan Dan Masukan Dari Rakyat

Sayangnya, eks aktivis ICW itu belum menyebut jumlah duit suap yang masih belum terungkap. "Tentu semua itu bergantung pada kecukupan bukti yang terus akan kami lihat dalam proses berjalan," tandasnya. 

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sudah memastikan pengusutan kasus ini tak hanya berhenti pada Bartholomeus dan Iwa yang ditetapkan sebagai tersangka sejak 10 Juli lalu. "Pengembangan perkara ini akan terus kami lakukan, sebagai bagian dari upaya KPK untuk mewujudkan perizinan yang bersih, transparan, dan antikorupsi," tegas Saut, Senin (29/7) malam. 

Salah satu yang berpotensi menjadi tersangka baru dalam kasus ini adalah para anggota DPRD Bekasi dan DPRD Jawa Barat. Diketahui, pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Bekasi diduga menerima uang Rp 1 miliar dan gratifikasi liburan ke Thailand untuk memuluskan pengurusan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) megaproyek Meikarta.

Sementara Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Fraksi PDIP, Waras Wasisto, disebut berperan dalam mengalirkan uang suap kepada pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna mempercepat izin pembangunan Meikarta. Itu diungkapkan Kabid Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi Neneng Rahmi dalam persidangan. 

Menurut dia, otoritas RDTR ada di meja Pemerintah Provinsi Jawa Barat, maka Pemerintah Kabupaten Bekasi yang sudah menerima uang suap dari Meikarta, perlu mengalirkan duit suap ke Pemprov Jabar. Di sanalah, anggota DPRD Bekasi Soleman diduga berkoordinasi dengan Waras agar dapat menyampaikan uang suap ke meja kerja Iwa guna kemulusan proses RDTR.

Baca juga : OJK Terbuka Kehadiran Bank Thailand

"Bertahap lah, kita akan terus berupaya mengembangkan, jadi ini hanya persoalan waktu saja. Nanti ini bertahap. Penyidik pasti punya strategi untuk itu. Bukan berarti tidak ada follow up. Kita pengen cepet, tapi penyidik punya strategi, kita ikuti strateginya," imbuh Saut

Selain itu, KPK juga membuka peluang menerapkan pidana korporasi kepada PT Lippo Cikarang. "Nanti kita lihat proses tahapan berikutnya. Kalau bisa, kita naikkan ke korporasinya. Kita lihat, sejauh apa mereka memperoleh sesuatu dari tindak pidana yang dilakukan. Nanti kita tunggu prosesnya. Ini masih ada perjalanan lain. Kira-kira begitu," tuturnya. 

Untuk diketahui, jaksa KPK menyertakan peran korporasi dalam tuntutan untuk Billy Sindoro, eks Direktur Operasional Lippo Group. Dalam tuntutannya, jaksa menyebut Pasal 4 Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh korporasi.

Ayat 1 menyebutkan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur korporasi. Ayat ke-2 nya menyebutkan dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi jika korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut untuk keuntungan korporasi.

Juga, jika korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana atau jika korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan hukum yang berlaku guna menghindari tindak pidana.

Baca juga : KPK Minta Penikmat Aliran Dana RTH Bandung Kembalikan Uang

Jaksa KPK I Wayan Riyana menyebutkan, penyertaan korporasi PT Lippo Cikarang dan PT Mahkota Sentosa Utama selaku perusahaan pelaksana proyek Meikarta didasarkan pada kesaksian Ju Kian Salim yang menjabat town management PT Lippo Cikarang sejak 2016 dan menjabat direksi PT Mahkota Sentosa Utama.

Menurut kesaksian Ju Kian Salim di persidangan,  yang bertanggung jawab terhadap pengeluaran yang terkait dengan Meikarta adalah semua direksi PT Lippo Cikarang dan PT Mahkota Sentosa Utama. 

Jaksa memiliki satu bukti lain untuk mendukung ‎kesaksian Ju Kian Salim itu. Yakni, barang bukti nomor 305, bukti pengeluaran bank PT Mahkota Sentosa Utama nomor 512/169/MSU/June, MSU 1706/046 pada 14 Juni senilai Rp 3,5 miliar. Menurut Jaksa, uang itu adalah sumber uang yang diberikan kepada Neneng Hasanah Yasin. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :