Dark/Light Mode

Solusi Tjokroaminoto dan Soekiman untuk Depresi Ekonomi

Senin, 3 Juli 2023 16:31 WIB
HOS Tjokroaminoto dan peserta Kongres Sarekat Islam Sumber: media-kitlv.leiden
HOS Tjokroaminoto dan peserta Kongres Sarekat Islam Sumber: media-kitlv.leiden

FIKRUL HANIF SUFYAN, penulis Menuju Lentera Merah dan Pengajar Sejarah di STKIP Yayasan Abdi Pendidkan Payakumbuh.

Depresi ekonomi, dalam kesejarahannya dimulai pada peristiwa Kamis Hitam – yang ditandai jatuhnya bursa saham Amerika Serikat pada 24 Oktober 1929, dan memuncak lima hari kemudian pada 25 Oktober 1929. 

Di Hindia Timur, depresi ekonomi dikenang dalam zaman Malaise menghancurkan ekonomi. Akibatnya, secara global volume perdagangan untuk ekspor impor menurun drastis, pun terhadap pendapatan perorangan, pajak, harga, dan keuntungan (Furnivall, 1944). 

Fakor-faktor yang menimbulkan depresi ekonomi di akhir 1920-an, dipicu oleh keterbatasan cadangan emas dunia, sistem ekonomi dunia yang ketat berdampak besar terhadap upah, biaya, dan harga. 

Selain itu, depresi ekonomi juga disebabkan oleh inflasi kredit di Amerika Serikat, tingkat konsumsi yang lebih rendah, rendahnya penanaman modal, krisis perbankan, tingginya utang negara maju, kebijakan dalam penggajian yang dilakukan pihak pemerintah dan swasta (Lewis, 1949).  

Keruntuhan ekonomi di Amerika Serikat, segera menjalar ke  negara maju, berkembang, dan negeri jajahan terdampak langsung–terutama untuk sektor industri berat, pertambangan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan (Brown, 1986).

Kondisi depresi ekonomi turut menambah derita Kerajaan Belanda, akibat merosot tajamnya komoditi perdagangan dunia. Akibatnya, volume perdagangan dari negeri jajahan menurun drastis. Belum termasuk bunga utang luar negeri Belanda, yang membumbung tinggi, karena gagal mendapat keuntungan dari ekspor. Minyak bumi yang diharapkan sebagai penghasil devisa pun terlempar  dari perdagangan dunia.

Baca juga : Diperiksa Kejagung 2,5 Jam, Menpora Dito Lega Sudah Berikan Klarifikasi

Perkebunan karet, tebu, teh, dan kopi turut terdampak. Bila di Amerika Serikat dampak siginifikan terjadi pada akhir Oktober 1929, di Hindia Belanda terdampak langsung pada 1930. Kondisi ini berlawanan di era 1920-an yang ditandai dengan melesatnya volume perdagangan dan naiknya grafik ekspor dari Hindia Belanda (O’Malley, 1977).

Hancurnya harga, menurunnya permintaan untuk komoditas ekspor, persoalan yang muncul pada harga karet dan gula, krisis keuangan pemerintah akibat membengkaknya belanja negara, yang segaris lurus berdampak pada PHK pada buruh tambang, perkebunan, serta menurunnya daya beli masyarakat, merupakan fenomena umum yang terjadi di Hindia Belanda.

Dampak buruk depresi ekonomi ini menjadi perbincangan dalam Kongres Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Bandung pada 1931. Tepatnya pada 28 September 1931, tampil beberapa punggawa, mulai dari Ketua Dewan PSII Haji Agus Salim, A.M Sangadji, Ketua Majelis Tahkim HOS Tjokroaminoto, Wakil Ketua Ladjinah Tanfidijah dr. Soekiman, Ketua Sarekat Tani Abikoesono Tjokrosoejoso, dan lainnya (de Locomotief, 30 Desember 1931). 

“Dan sekarang, di masa sulit ini, kita melihatnya lagi. Pengangguran dari Eropa menikmati bantuan dan dukungan dari semua sisi. Pengangguran pribumi, ditambah jumlah ribuan kuli diputus kontraknya, harus dipaksa kembali ke daerahnya,” tegas Soekiman dalam pidatonya.

Bahkan, seorang pengurus Perserikatan Pegawai Pegadaian Hindia, tambah Soekiman menyampaikan keresahan yang dialami para pegawai. Selain dipecatnya 885 pejabat, kesengsaraan lebih banyak menimpa para pegawai rendahan. “Untuk menghindari skema redundansi (pengulangan) gaji, personel yang akan diberhentikan dinyatakan tidak layak,” kembali Soekiman menyentil praktek PHK yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda.

Soekiman mengimbau masyarakat, untuk membangun gerakan politik, untuk mendukung pekerja pegadaian yang di-PHK tersebut. Mereka yang sudah tidak mempunyai pekerjaan, diharapkan kembali bercocok tanam. “Dan, pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar 1500”.  Kontan saja, solusi ini mendapat gemuruh tepuk tangan. 

Bila pemerintah acuh saja, Soekiman percaya bahwa dalam keadaan darurat ekonomi saat itu, tiap orang harus lebih mengandalkan diri sendiri dan memalingkan semua harapan bantuan dari pemerintah atau orang lain. “Seseorang harus bersatu, itu pasti.” kembali Soekiman menyemangati peserta.

Baca juga : Top, Pengamat Maritim Indonesia Dianugerahi Gelar Doktor HC oleh CMR University India

Selaku Ketua Sarekat Tani, Abikoesono Tjokrosoejoso, kembali mengingatkan, untuk keluar dari masa depresi ekonomi, harus kembali ke produk rumah tangga. Untuk mengilustrasikan kesengsaraan rakyat dan kebijakan kolonial yang keliru, Abikoesno mengingatkan peserta pada memorandumnya Zentgraaffen Meyer Ranneft. 

Abikoesno sangat prihatin dengan miskinnya anak negeri di negeri yang kaya. “Mereka yang keluar negeri untuk mencari rejeki di tempat lain, harus pergi sebagai kuli kontrak, sementara orang asing dari tempat lain datang ke negeri ini, untuk menimbun rejeki.” tegas pembicara yang disambut gemuruh tepuk tangan (de Sumatra Post, 13 Desember 1931).

Pembicara juga menyentil kaum intelektual yang menggelari dirinya nasionalis. Dalam situasi ekonomi sulit, seorang nasionalis tidak bekerjasama dengan penjajah, melainkan ia harus "Kembali ke rakyat," tegas Abikoesno. 

Lain halnya dengan Ketua Majelis Tahkim terpilih HOS Tjokroaminto yang memberikan solusi, supaya rakyat menggerakkan industri tekstil pribumi. Dalam sambutannya yang halus, Tjokroaminoto kemudian berbicara Swadeshi

Ia menjelaskan kata Sansekerta ini dan menganjurkan pemahaman dan penerapan cinta dan hasil tanah air dalam gerakan Swadeshi-nya Mahatma Gandhi.  Tjokroaminoto mengkritik para pembesar yang meniru Westernisasi,  mulai dari memakai pakaian ala Barat, hingga mempromosikan industri asing (Deli Courant, 15 Desember 1931). 

Modernisme dan orisinalitas di Nusantara, dalam interpretasinya, telah memicu kontradiksi dan kekacauan.  Setengah berseloroh Tjokro mengatakan “...lampu listrik harus ditiadakan, karena merusak mata.”.

Tjokroaminoto kemudian menunjukkan sebuah roda pemintal, model aslinya, yang memberikan prinsip untuk fase pertama industri tekstil di seluruh dunia. “Di negeri ini orang punya kapas (kapuk), mereka punya tjakra (roda pemintal) untuk membuat benang, mereka punya mesin tenun,” kata Tjokro dengan penuh semangat.

Baca juga : Kesenggol Kasus BTS, Jokowi Minta Menpora Penuhi Panggilan Kejagung

Ia mengharapkan agar semua orang bisa memahami gagasan Swadeshi, dan segera mempraktikkannya. Saat ditanya, oleh Tjokroaminoto, apakah mereka setuju dengan Swadeshi? 

“..mufakat...!” teriak peserta, menandai setuju dengan apa yang dipropagandakan oleh Tokroaminoto. Pendiri Sarekat Islam itu, ingin agar rakyat mau menanam setengah dari lahan dengan pohon randu mulai tahun depan. 

Rakyat yang menginginkan tjakra di setiap rumah tangga, harus mengolah kapas sendiri dan mereka menginginkan industri tekstil sendiri. Dan, jika gagasan ini terwujud, diharapkan rakyat bisa mengekspor industri tekstil Twente.  “Maka pada  orang asing harus ditunjukkan: ini tjakra kami, kami tidak membutuhkan produk Anda!" teriak Tjokroaminoto yang disambut gemuruh tepuk tangan peserta.

Kongres yang penyelenggaranya diketuai A.M Sangadji, menegaskan PSII telah memiliki 91 sectie dengan jumlah anggota yang meningkat sebanyak 4.000 pada 1930 (de Locomotief, 30 Desember 1931).

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.