Dark/Light Mode

MPR Minta Pegang Kunci Darurat

Demokrat: Amandemen UUD 1945 Nggak Gampang

Kamis, 31 Agustus 2023 19:10 WIB
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief   Hasan. (Foto: Istimewa)
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan menegaskan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak semudah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Syarief bilang, masyarakat Indonesia harus dilibatkan jika ingin amandemen UUD dilakukan secara komprehensif. "Nggak mudah. Ini kan UUD," kata Syarief Hasan saat berbintang dengan RM.id, Kamis (31/8).

Menurut Wakil Ketua MPR itu, aturan yang akan diamandemen dalam UUD harus dilakukan secara menyeluruh. Bukan cuma segelintir poin saja.

"Kalau ingin nyari-nyari kelemahan dari UUD sih ada saja yang bisa ditemui. Namun perubahan atau amandemen UUD tidak serta merta suara satu atau dua orang. Kita harus tanya seluruh rakyat Indonesia," ungkap mantan Menteri Koperasi dan UMKM itu.

Syarief menegaskan tidak cukup setahun atau dua tahun untuk mengamandemen UUD. Sedangkan Pemilu 2024 hanya menyisakan beberapa bulan lagi.

"Butuh waktu. Rakyat kita 270 juta orang. Ini kan punya kepentingan terhadap perubahan UUD. Jadi menyimpulkan adanya pandangan amandemen UUD itu memerlukan waktu yang cukup panjang," jelas politisi bergelar profesor itu.

Baca juga : MPR Minta Pegang Kunci “Pintu Darurat”, Jimly: Tidak, Itu Wewenang Presiden

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai konstitusi Indonesia saat ini dalam kondisi tidak sehat. Meskipun sudah empat kali diamandemen, masih banyak ruang kosong yang tidak ter-cover oleh konstitusi.

Konstitusi tidak memberikan 'pintu darurat' manakala terjadi kedaruratan. Misalnya, tidak ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui sistem Pemilu.

Seperti Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD, hingga DPRD Kabupaten/Kota. Di mana diakui Bamsoet, Pemilu bisa saja ditunda apabila terjadi kedaruratan seperti gempa bumi megathrust, perang, kerusuhan massal, maupun karena pandemi.

Dengan demikian, jabatan eksekutif maupun legislatif akan kosong secara otomatis.

"Menteri pun sudah berakhir masa jabatannya karena mengikuti masa jabatan Presiden, yang tersisa hanya Panglima TNI dan Kapolri," kata Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (29/8).

Bamsoet pun mempertanyakan siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan darurat tersebut.

Baca juga : Relawan Sintawati Bagikan Daging Kurban Buat Warga Jagakarsa

"Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan Pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika Pemilu tertunda?" lanjutnya.

Mantan Ketua DPR ini menekankan di masa sebelum amandemen keempat konstitusi, MPR bisa mengeluarkan Ketetapan (TAP) yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi. Kendati demikian saat ini masih terdapat perdebatan perihal kewenangan MPR tersebut.

"Prof. Yusril Ihza Mahendra berpandangan, tanpa amandemen konstitusi maupun menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, MPR tetap bisa mengeluarkan TAP," terang Bamsoet.

Adapun caranya, yakni melalui Sidang Paripurna MPR yang memutuskan MPR bisa mengeluarkan TAP MPR. Wakil Ketua MPR itu pun menyinggung Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, UU/Perppu, dan seterusnya.

"Posisi TAP MPR yang lebih tinggi dari UU secara otomatis bisa menghapuskan ketentuan penjelasan Pasal 7 UU No.12/2011 yang membatasi masa berlakunya TAP MPR RI," jelas Bamsoet.

Untuk itu, Bamsoet menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR melalui Tap MPR. Seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan Perppu jika terjadi kedaruratan atau kegentingan memaksa.

Baca juga : Cawapres Anies Diumumin Pulang Haji, Demokrat Nggak Sabaran

TAP MPR dinilainya dapat menjadi solusi terhadap berbagai persoalan negara manakala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antar-lembaga negara atau antar-cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.

"Misalnya, ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR, kebuntuan politik antara Pemerintah dan DPR dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK," ucapnya.

Mengingat, dijelaskan Bamsoet, sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri. "Maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara," pungkas Bamsoet.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.