Dark/Light Mode

Pengamat Ajak Publik Kritisi Terus Putusan MK Soal Syarat Capres-Cawapres

Minggu, 22 Oktober 2023 15:10 WIB
Diskusi Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk Keputusan MK, Adil Untuk Siapa di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (21/10). (Foto: Istimewa)
Diskusi Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk Keputusan MK, Adil Untuk Siapa di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (21/10). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Komunikolog Indonesia, Emrus Sihombing mengajak masyarakat memberikan pemikiran kritis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal diizinkannya kepala daerah menjadi kontestan Pilpres, sekalipun belum cukup umur.

"Kita menang berkewajiban menghargai putusan MK. Sebab, keputusan bersifat final dan mengikat," kata Emrus, di acara diskusi Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk Keputusan MK, Adil Untuk Siapa di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (21/10).

Secara teknis, Emrus menilai awal putusan MK menetapkan usia minimalis 40 tahun sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Namun, selanjutnya MK justru menimbulkan keprihatinan berbagai kalangan.

Pemakaian kata “atau” untuk kepala daerah bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden, sekalipun usianya di bawah 40 tahun, membuat putusan MK bertentangan dengan azas keadilan.

"Artinya apa? MK memberikan suatu privilege terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun umurnya di bawah 40 tahun. Keputusan ini tidak sejalan dengan dasar negara kita, Pancasila, sila kelima," katanya.

Baca juga : KOBAR: Jangan Pake Kacamata Kuda Kritisi Putusan MK Soal Batas Usia Cawapres

Emrus mengusulkan lima saran mengakhiri wacana yang tidak produktif terkait keputusan MK tertanggal 16 0ktober 2023.

Pertama, presiden mengeluarkan Perppu agar siapapun yang menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden, tanpa memandang jabatan dan latarbelakang pengabdian untuk bangsa dan negara, usia disamakan minimal 40 tahun.

Kedua, Emrus mengusulkan DPR dan Pemerintah segera mengubah UU yang mengatur usia minimum 40 tahun menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden.

"Namun, saya menyadari, karena kepentingan pragmatis bukan ideologis, partai yang diuntungkan dengan keputusan MK kemungkinan besar tidak setuju atau melakukan politik waktu, dengan mengulur-ulur waktu. Karenanya, usul kedua ini cenderung tidak terwujud," sebut Emrus.

Ketiga, perlu dibentuk Komisi Pengawasan Hakim MK. Komisi ini berwenang bertindak ketika hakim MK melakukan tugas tidak sesuai dengan kewajibannya menurut UU. Termasuk, memecat hakim. Sebab, hakim itu tetap manusia yang bisa melakukan penyimpangan.

Baca juga : RSPAD Kerahkan 50 Dokter Untuk Periksa Kesehatan Capres-Cawapres

Keempat, perlu direvisi penyebutan hakim sebagai yang “mulia”. Sebab, hanya Tuhan yang pantas disebut yang mulia.

Kelima, para hakim perlu proaktif mengusulkan agar mereka tidak perlu disebut yang “mulia”, cukup dengan sebutan Ibu atau Bapak hakim.

Advokat dan koordinator Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus berpendapat keputusan mk itu berpotensi melanggar konstitusi dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Tepatnya, di Pasal 17 ayat 3,4, dan ayat 5, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU Nomor 48 Tahun 2009, putusan MK itu menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya.

"Jika Gibran Rakabuming dipasangkan sebagai Capres atau Cawapres, dengan menggunakan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, maka akan berpotensi digugat karena menggunakan putusan MK yang boleh jadi tidak sah," ujar Petrus.

Baca juga : Pengamat: Ketua KPK Firli Bahuri Harus Jadi Teladan Aparat Penegak Hukum

Sementara, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Tama S. Langkun berkelakar bahwa putusan ini tidak untuk orang muda.

"Putusan ini bilang begini, berusia pada usia 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih secara langsung termasuk pemilihan kepala daerah. Ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui Pemilu. Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan," katanya.

Selanjutnya Langkun berpendapat, bicara legal standing, biasanya di MK sangat kuat. Sekarang tampaknya longgar. Lebih lanjut Langkun menilai, putusan ini telah merusak norma-norma hukum yang dijunjung tinggi oleh konstitusi.

Sebagai open legal policy, perubahan umur minimal Capres-Cawapres harus dikembalikan ke DPR bersama-sama Presiden. MK tidak mencampuri angka umur minimal 40 tahun karena tidak melanggar konstitusi.

"Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja. Tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden," tegas Langkun.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.