Dark/Light Mode

Prof Indriyanto: Kapolri Miliki Legitimasi Sah Proses Penghina Presiden

Jumat, 10 April 2020 19:45 WIB
Prof Indriyanto Seno Adji  (Foto: Istimewa)
Prof Indriyanto Seno Adji (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Prof Indriyanto Seno Adji, angkat bicara mengenai pro kontra Surat Telegram (ST) Kapolri dengan Nomor: ST/1100/IV/HUK.7.1/2020. Mantan Pansel Capim KPK ini mengakui, memang implementasi penegakan hukum terhadap perkembangan situasi serta opini di ruang siber. Antara lain penghinaan terhadap penguasa/peesiden dan pejabat pemerintah. 

Namun, Indriyanto menganggap, surat telegram itu tidak menyalahi aturan. “Tentunya ini dalam konteks pelaksanaan Kepres Nomoro 11/2020, PP Nomor 21/2020, dan Perppu Nomor 1/2020, yang kesemuanya dalam rangka pencegahan penyebaran wabah Covid-19,” ucapnya dalam keterangan yang diterima redaksi, Jumat (10/4).

Surat telegram itu sebelumnya mendapat kritikan antara lain dari Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof Azyumardi Azra. Kedunya mengatakan, Pasal Penghinaan Presiden sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan penerapan masalah penghinaan terhadap presiden membuat kualitas demokrasi Indonesia kian merosot.

Baca juga : Indikator Ekonomi Membaik, Rupiah Terus Menguat

Lalu, apa benar Kapolri telah keliru dalam mengeluarkan surat telegram tadi? “Bagi saya surat telegram Kapolri benar dan memiliki legitimasi yang sah. Kebebasan berpendapat itu dijamin konstitusi. Tapi haruslah dipahami bahwa suatu kebebasan berpendapat tidak pernah berlaku absolut. Ada batas-batasnya, ada limitasi restriktif, baik secara hukum dengan regulasi (UU ITE-KUHP), doktrin/ilmu hukum, maupun yurisprudensi dan restriksi etika sosial,” jelas Indriyanto.

Indriyanto menerangkan, memang dipahami dan penuh kesadaran bahwa Pasal 134 KUHP, Pasal 136 dan Pasal 137 ayat 1 tentang Penghinaan terhadap Presiden telah dinyatakan inkonstitutional oleh Pututusan MK Nomor 013-022-PUU-IV/2006. Tapi, Bab VIII (Kejahatan terhadap Penguasa Umum) Pasal 207 KUHP tetap mengatur penghinaan terhadap penguasa (pejabat) dan badan umum (sekarang kementerian/lembaga negara) yang tidak dalam pemahaman delik aduan, tapi delik biasa. Kemudian, Pasal 27 UU ITE  mengatur penghinaan yang diberlakukan kepada siapa pun yang melanggar pasal tersebut.

“Penghinaan yang dilarang pada Pasal 207 KUHP adalah bentuk ‘Formeele Belediging’. Suatu pernyataan yang diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak konstruktif, tidak obyektif, dan tidak zakelijk (hak kebendaan) sifatnya. Dalam sistem Anglo Saxon (sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi) diatur juga pemidanaan terhadap libel (tertulis) dan slander (lisan) sebagai defamatory statement (pernyataan memfitnah) yang bisa juga dipidana,” terang Indriyanto.

Baca juga : Dilarang PHK, Pengusaha Berani Melawan Presiden?

Indriyanto menyatakan, kritik menjadi penghinaan formil bila dilakukan dengan cara-cara tersebut. Ketentuan ini juga universal sifanya. “Penghinaan formil Pasal 207 KUHP inilah yang menjadi basis legitimatif bagi Kapolri untuk melakukan penindakan kepada siapa pun yang melakukan penghinaan formil kepada Penguasa Umum, termasuk Presiden,” jelas Indriyanto. 

Dia menegaskan, haruslah adanya pemahaman yang diferensial antara jaminan konstitusional atas pernyataan sebagai kebebasan berpendapat dengan pernyataan dalam format penghinaan formil yang strafbaar (perbuatan yang dapat dipidanakan) dan universal sifatnya.

Indriyanto melanjutkan, Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana membenarkan bahwa hukum memberi perlindungan terhadap simbol-simbol kenegaraan dari segala perbuatan melanggar hukum. Termasuk penghinaan terhadap presiden sebagai simbol kekuasaan negara.

Baca juga : Pimpinan KPK Tak Lapor Ke Dewas Soal Penghentian 36 Penyelidikan

“Jadi, benar dan sudah tepat secara hukum bahwa ST Kapolri memiliki legalitas untuk dapat memproses kasus penghinaan terhadap penguasa/badan penguasa. Termasuk penghinaan kepada presiden sepanjang bentuknya penghinaan formil,” ucap Indriyanto.

Penghinaan formil yang dimaksud adalah, misalnya si A nyatakan, kebijakan Presiden tentang PSBB tidak tepat dan membingungkan masyarakat. Lalu si A itu bilang: Presiden bodoh, goblok sekali. Tindakan itu bisa dipidana. “Tapi, kalua A mengatakan: kebijakan Presiden tentang PSBB ini tidak tepat sasaran dan membingungkan publik. Ini tiidak dapat dikatakan sebagai penghinaan formil,” jelasnya. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.