Dark/Light Mode

Impian Pindah Ibukota, Kandas?

Kamis, 28 Mei 2020 09:30 WIB
Tjipta Lesmana (kiri) dan Albert Matondang (Foto: Istimewa)
Tjipta Lesmana (kiri) dan Albert Matondang (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Dampak pandemi Covid- 19 membutuhkan anggaran sangat-sangat besar. Untuk antisipasi kucuran dana berskala raksasa itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah melakukan berbagai langkah antisipatif.

Antara lain menerbitkan Global Bond senilai 4,3 miliar dolar AS (tapi ternyata kemudian batal), mendapatkan pinjaman lunak dari Asian Development Bank sebesar Rp 23,4 triliun, menerbitkan Surat Utang Negara ratusan triliun rupiah, merealokasi sekian ratus triliun dana APBN dan sebagainya.

Dua pengamat ekonomi kondang, Rizal Ramli dan Faisal Basri mendesak pembatalan rencana pindah Ibukota dan merealokasi anggarannya untuk membantu rakyat yang jatuh miskin akibat virus corona. Untuk mengakomodir berbagai desakan itu, Presiden Jokowi, 10 hari yang lalu menerbitkan Perpres No. 60 tahun 2020 tentang Tata Ruang Jabodetabek Puncak-Cianjur (Punjur).

Baca juga : Impian Insan Bahari Kembali Pupus

Perpres tersebut memang bersifat “ngambang”. Di satu pihak, Perpres tidak menyatakan membatalkan proyek pindah Ibukota; di sisi lain Presiden menetapkan Jakarta.

Antara lain, sebagai (1) pusat pemerintahan dan kawasan diplomatik; (2) pusat perdagangan dan jasa skala internasional, nasional, dan regional; (3) pusat pelayanan pendidikan tinggi dan (4) pusat pelayanan transportasi nasional dan internasional darat, laut dan udara.

Apakah pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, masih tetap berkeinginan memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur? Tampaknya, ya. Padahal, jika dikaji secara kritis dan saksama serta dari sudut pandang sejarah, gagasan pindah Ibukota termasuk keliru dan mengandung banyak cacat.

Baca juga : Putus Karena Jarak

Pertama, apa tujuan memindahkan Ibukota Republik Indonesia? Kelompok die hard mengatakan Jakarta sungguh tidak lagi layak jadi Ibukota. Lalu-lintas yang semrawut dan sangat macet, banjir yang tak pernah teratasi, tingkat polusi Indonesia yang ke-5 di dunia, tata-ruang yang “edan”, penduduk yang terlalu padat dan kemiskinan yang kian parah.

Itulah 6 variabel utama yang membuat Jakarta harus segera ditinggalkan sebagai Ibukota. Padahal, keenam masalah itu bisa diatasi jika pimpinan kita memiliki tekad baja untuk mengatasinya.

Seorang pemimpin yang bijak dan berani serta konsisten dengan janjinya, tidak boleh lari dari permasalahan. Sebaliknya, ia selalu siap mengatasi permasalahan apa pun yang dihadapinya. Apalagi semua permasalahan itu adalah tema pokok kampanye Jokowi di Pilkada DKI tahun 2012. Ambil misalnya, soal kemacetan.

Baca juga : Impor Gula Sudah Dibuka Harga Kenapa Tetap Mahal

Sudah lama pemerintah pusat didesak untuk menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan bermotor roda empat dan dua. Banyak kota metropolitan di dunia seperti Beijing, Shanghai, Seoul, Tokyo, Singapura, Amsterdam, dan Moscow sejak bertahun-tahun yang lalu menerapkan pembatasan mobil secara ketat.

Soal banjir, para petinggi tata kota Jerman dan Belanda kesal dengan perilaku pimpinan Jakarta yang bolak-balik menemui mereka untuk meminta advis. Segudang advis dan draft perencanaan telah diberikan kepada sejumlah petinggi pemprov DKI untuk mengatasi banjir, toh mereka tidak punya keberanian dan kecakapan untuk melaksanakannya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.