Dark/Light Mode

Soal Polemik Radikalisme, PWNU Jatim Minta Menag Hati-hati

Senin, 7 September 2020 09:19 WIB
KH Anwar Iskandar/Ist
KH Anwar Iskandar/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Pernyataan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi dalam acara webinar bertajuk Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara beberapa waktu lalu menuai polemik. Wakil Rois Surya PWNU Jawa Timur KH. Anwar Iskandar menilai Menag terlalu menggeneralisir.

“Terlalu menggeneralisasi itu, kan tidak semua orang yang good looking memiliki kemampuan bahwa Arab dan kemampuan agama mesti radikal. Ya tidak mesti dong. Itu terlalu menggeneralisasi,” kata KH Anwar, Sabtu (5/9).

Seperti diketaui, dalam diskusi itu, Menag menyebut ada dua jalur pintu masuk bagi radikalisme. Pertama, lewat lembaga pendidikan. Dan kedua, melalui lembaga agama yang salah satunya adalah penceramah atau kelompok good looking.

Baca juga : Jangan Curiga Melulu, Menag Kudunya Lebih Menentramkan

Lebih lanjut Kiai Anwar menilai pernyataan Menang merupakan blunder. Karena menurutnya, di Indonesia terlampau banyak orang yang menguasai bahasa Arab, good looking, pengetahuan agama baik serta mempunyai toleransi dan nasionalisme yang tinggi. Bila dilihat dari segi jumlah, jauh lebih banyak ketimbang kelompok radikal. Ia meminta Menag bisa membedakan dengan jeli. 

“Kalau radikal dalam artian bersungguh-sungguh dalam belajar, itu kan gak ada masalah. Tapi kalau kemudian radikal diartikan ingin mengubah sistem negara, itu yang nggak, nggak kita setujui. Jadi radikal itu dilihat dari apa, perspektif agama, perspektif bahasa,” ujarnya.

Sehubungan dengan perkembangan radikalisme di lembaga pendidikan dan agama, menurut Kiai Anwar, perlu ada penelitian lebih lanjut dari lembaga survei yang kredibel. Jangan sampai orang berbicara radikalisme tanpa ada data yang jelas. Dirinya lantas mencontohkan lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren, khususnya Nahdlatul Ulama (NU).

Baca juga : Soal Paham Radikal, Dirjen Bimas: Yang Dijelaskan Menag Itu Hanya Ilustrasi

“Namanya pendidikan pondok pesantren itu ya, pondok pesantren NU khususnya. Itu kan lembaga pendidikan juga. Lembaga mandiri yang tidak dibiayai oleh negara, tapi output dari pendidikan itu 24 karat nasionalisme, bukan radikalisme, toleransi mereka. Jadi tidak semua masjid dan tidak semua sekolahan,” tuturnya.

Kiai Anwar juga menyinggung mengenai reshuffle kabinet, sehubungan dengan telah banyak pihak yang selama ini sudah memperingati Menag. Menurutnya, kalau memang Presiden mendengarkan pandangan dari orang yang membuat kinerja kurang baik, maka hak Presiden untuk mereshuffle.

“Jadi persoalannya Presidennya gimana, dengar apa enggak. Ya kalau memang, Presiden mendengar aspirasi yang demikian besar derasnya semestinya itu dijadikan acuan dan dasar untuk meninjau kembali (kinerja Menag). Mumpung masyarakat dan umat Islam masih cukup percaya terhadap Presiden. Masa gara-gara kementerian saja kemudian kepercayaan masyarakat dan umat  Islam kepada Presiden tidak ada,” jelasnya.

Baca juga : Soal PAN Reformasi, Mumtaz Rais Belum Matang

“Katanya mau dengar, dulu kan janjinya Presiden mau dengar, mau dengar nasihat ulama, kan gitu dulu. Sekarang sudah banyak ulama yang ngomong, bahkan akademisi, partai politik, lembaga-lembaga survei, itu bukan dalam arti mendesak Presiden. Aspirasi rakyat kan biasa. Jangan kemudian aspirasi rakyat dianggap kemudiann mendesak, nggak boleh begitu. Presiden itu kan abdi dari rakyatnya, ulama adalah sebagian dari rakyat,” tutupnya. [KAL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.