Dark/Light Mode

MAPPI Minta Pemerintah Segera Realisasikan Rancangan Undang-Undang Penilai

Jumat, 23 Oktober 2020 14:10 WIB
Webinar yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI)/Ist
Webinar yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI)/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) meminta pemerintah segera merealisasikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai.

Hal itu disampaikan Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) MAPPI Hamid Yusuf saat Webinar bertajuk Penilai Dalam Lingkaran Perlindungan Dan Risiko Hukum, Kamis (22/10).

Webinar nasional itu dibuka Ketua Umum DPN MAPPI Muhammad Amin yang dilanjutkan dengan sambutan sekaligus pembukaan oleh Dr Arie Wibowo yang mewakili Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan Kementerian Keuangan Firmansyah N Nazaroedin. 

Muhammad Amin menyatakan, mengingat Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19, maka perlu dicari solusi terbaik untuk bersama-sama membahas urgensi RUU Penilai, sembari tetap menjaga semangat untuk merealisasikannya.

Diskusi terbuka yang dihadiri lebih dari 300 peserta daring ini terdiri dari Pengurus Pusat, anggota dan DPD MAPPI seluruh Indonesia.

Diskusi ini juga menghadirkan narasumber Dr Ibrahim selaku Hakim Agung, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Marcus Priyo Gunarto serta Ketua Dewan Penilai MAPPI Dewi Smaragdina Pramudji.

“Penilai itu belum punya Undang-Undangnya, itu yang sekarang lagi kita minta kepada pemerintah. Karena kalau nggak ada Undang-Undang itu, produk kita akan dipermasalahkan orang terus, itu masalahnya,” kata Hamid.

Baca juga : Rerie minta Pemerintah Kerek Kreativitas UMKM

Menurut Hamid, pentingnya RUU untuk Profesi Penilai dilatarbelakangi oleh masalah perlindungan hukum dalam beberapa tahun terakhir. 

Hamid mengatakan, aduan terhadap masyarakat yang mengatakan Penilai melakukan kesalahan meningkat. Aduan itu menyangkut penilaian-penilaian misalnya di pengadaan tanah, hampir 3-4 tahun ini ada 130 aduan pengadaan tanah.

“Soalnya kalau pembangunan infrastruktur yang menentukan ganti ruginya Penilai, menurut Undang-Undang,” ujarnya

Hamid menjelaskan, pada saat Penilai menentukan nilai ganti kerugian terkait pengadaan tanah maka masyarakat menolak.  Hal itulah yang kemudian terjadi pengaduan dari yang berskala kecil sampai skala besar. 

Contoh lain, menurut Hamid, terkait lelang yang dalam setahun terakhir kredit macet meningkat. Sehingga persoalan kredit macet tersebut berujung pada agunan yang diambil alih oleh bank dan kemudian dilelang. 

“Itu juga terjadi penolakan masyarakat terhadap hasil penilaian. Sebagian penolakan masyarakat itu kadang-kadang masuk kepada gugatan hukum pidana dan perdata,” jelasnya

Karena profesi penilai sebenarnya hanya tunduk kepada kode etik dan standar. Hamid menegaskan, MAPPI ingin melihat bagaimana perspektif pidana dan perdata serta apa yang harus dilakukan untuk memitigasi risiko hukum.

Baca juga : Mudik Dan Liburan Rawan Kerek Penularan Corona

Menurutnya,  profesi Penilai memang diatur dalam beberapa peraturah Menteri, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan No 101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik. 

Selain itu, menyangkut pengadaan tanah juga diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah yang harus melibatkan Penilai. Namun, payung hukum untuk profesi Penilai sendiri juga dibutuhkan. 

“Jadi memang harus ada RUU yang sebenarnya itu sudah dipersiapkan. Itu  harusnya inisiatif dari pemerintah dan DPR karena yang diatur bukan hanya profesinya tetapi kepastian terhadap opini nilai,” ungkapnya.

Lebih lanjut Hamid mengatakan, kepastian proses melakukan pekerjaan penilaian juga memang harus diperlukan payung hukum. Agat semua masyarakat terikat dengan apa yang dilakukan oleh Penilai.

Hamid mengaku, wacana RUU bagi Profesi Penilai yang sudah dibahas hampir 10 tahun terakhir itu belum ada tindak lanjut, baik dari pemerintah maupun DPR. 

Namun menyoal UU Omnibus Law, Hamid mengatakan, ada beberapa kegiatan Penilai juga diatur, seperti pengadaan tanah dan bank tanah yang berhubungan dengan investasi pemerintah pusat yang semua pengelolaan aset membutuhkan Penilai.

“Makanya kita mengharapkan kalau (Undang-Undang Omnibus Law) sudah ditandatangani oleh Presiden, rancangan Peraturan Pemerintahnya bisa juga mengatur hal-hal yang berhubungan kepada Penilai sebagai penguatan. Di situ nanti akan menjadi turunannya akan menghasilkan Undang-Undang Penilai,” harapnya.

Baca juga : Ketua MPR Minta Pemerintah Gencarkan Sosialisasi Esensi UU Ciptaker

Melihat pentingnya RUU bagi profesi Penilai, MAPPI menargetkan proses pembahasan hingga pengesahannya sampai tahun 2023. Hamid malah berharap target paling cepat tahun 2022.

Direktur Eksekutif MAPPI Julham Satria menambahkan, pentingnya keberadaan UU Penilai tidak terlepas dari besarnya tanggung jawab Penilai serta pentingnya peran Penilai.

Menurut Julham, hal ini dilakukan tanpa bermaksud sedikitpun mengurangi arti Peraturan Menteri Keuangan RI No.101 Tahun 2014 tentang Penilai Publik yang menjadi payung hukum tertinggi saat ini bagi Penilai di Indonesia.  Satu hal lainnya, negara harus hadir untuk kepentingan masyarakat. 

Julham juga menegaskan, Penilai harus patuh terhadap Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI) dan Standar Penilai Indonesia (SPI) serta semua peraturan dan Undang-Undang yang berlaku. Hal itu sangat berperan menjadi acuan mitigasi risiko sekaligus perlindungan hukum bagi Penilai. [KAL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.