Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Kota Yang Terasing

Minggu, 7 Februari 2021 16:13 WIB
Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat
Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat

 Sebelumnya 
Namun ada sedikit celah ketika frasa “kerja” yang terus dingiangkan sebagai titah mulia itu: keterasingan dari subyek yang melakukannya. Mereka yang sejak bangun tidur sampai tidur lagi ‘terbebani’ untuk terus melakukan kerja, kemudian secara tidak sadar membangun penghalang yang membatasi kebebasan sejati manusia. Lihat saja, mengapa dalam pembagian hari harus ada hari kerja dan hari libur; week end dan week days, dan sebagainya.

Proses pembagian hari merupakan upaya pembatas yang dilakukan manusia karena ia harus melayani ‘titah mulia’ dalam frasa kerja. Sehingga di dalam ruang yang terbatas itu, tidak ada kebebasan manusia yang utuh dan sejati. Sebab setiap daya diekspresikan dan divisualisasikan dalam narasi tunggal: kerja.

Inilah yang diwaspadai oleh Marx sebagai keterasingan manusia dalam hidup yang justru diproduksi oleh dirinya sendiri. Kerja merupakan hasil produksi manusia modern yang dibumbui oleh segudang pesona karena ada godaan kenikmatan material di situ. Mereka yang bisa mendapatkan kerja yang mapan, dianggap(kan) akan dengan sendirinya mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Baca juga : Video Untuk Bang Ono

Padahal jebakan keterasingan itu yang justru terjadi sebenarnya. Kesenangan di akhir pekan yang ditawarkan oleh nikmatnya punya pekerjaan, sebenarnya tidak lain dan tidak bukan, justru hanya upaya untuk melayani kebutuhan maksimalisasi energi yang sudah seminggu sebelumnya dikuras untuk melayani indahnya kerja.

Maka dari itu wajar jika pelaku kerja yang sebagian besar ada di kota, dan menjadi penyangga utama tubuh kota itu sendiri, sekaligus menjadi subyek paling banyak terasing. Datanglah ke tempat berkumpul orang-orang kota seperti cafe dan mall. Mereka yang tampak ceria dan gembira, sebenarnya hanya melakukan pelarian sesaat agar kembali siap pada kerja(an) yang menantinya.

Lembaga-lembaga di kota, mulai dari kantor dan tempat hiburan, didesain secara personal untuk melayani kebutuhan mereka yang terasing itu. Personalisasi semakin mengkristal karena dikampanyekan sedemikian rupa dalam berbagai ruang publik. Maka dari itu, kerja bisa jadi merupakan peluru yang menghapus ‘publik’, karena upaya-upaya personalisasi hadir dalam setiap keadaan.

Baca juga : Kapolri Baru Dan Reformasi Polri

Maka wajar jika kemudian ruang-ruang pelarian warga kota yang terasing pun diperluas. Salah satunya adalah ruang maya. Ruang maya menjadi salah satu ruang pelarian manusia kota yang sudah lama merasakan kesesakan dalam ruang nyata. Apalagi dominasi mereka yang kerja dengan penghasilan lebih besar sangat terasa. Maka dari itu, pelarian ke ruang maya menjadi tidak bisa dielakkan.

Namun tetap saja, di ruang nyata dan ruang maya, sebenarnya manusia-manusia yang berusaha ada di sana, menjadi subyek yang terasing. Jadi ruang-ruang tersebut pun hanya berfungsi sebagai pengokoh keterasingan itu. Dalam keterasingan yang tidak bertepi itulah kemudian warga kota terus menerus melakukan pencarian. Salah satu yang kemudian bisa mengobati atau menjadi penawar dahaga keterasingan itu adalah ruang-ruang spiritual.

Berbeda dengan di kantor, tempat belanja, tempat rekreasi, dan hal lain yang serupa dengannya, di ruang-ruang spiritual itu manusia-manusia menemukan kebersamaan dalam kesadaran. Keterasingan terkikis karena semua terasa dan tampak hadir bersama-sama.

Baca juga : Maling Serakah

Maka wajar jika kemudian majelis dzikir, kebaktian, dan ruang-ruang ibadah lain, mulai disesaki oleh warga kota. Sebab kerja yang melarutkan hidup mereka tidak pernah bisa menjadi antibiotik keterasingannya selama ini. [*]

[Penulis adalah Doktor Sosiologi alumni Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.