Dark/Light Mode

Eks Dirjen Perikanan Tangkap KKP: Kebijakan Ekspor Benur Tidak Pro Terhadap Nelayan Kecil

Rabu, 3 Maret 2021 14:41 WIB
Sidang kasus suap izin ekspor benih lobster dengan terdakwa bos PT DPPP Suharjito di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3/3). (Foto: Bhayu Aji Prihartanto/Rakyat Merdeka)
Sidang kasus suap izin ekspor benih lobster dengan terdakwa bos PT DPPP Suharjito di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3/3). (Foto: Bhayu Aji Prihartanto/Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M. Zulficar Mochtar mengakui, kebijakan ekspor benih bening lobster atau benur tidak pro terhadap nelayan kecil.

Hal itu dia ungkapkan ketika diperiksa sebagai saksi oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT. DPPP), Suharjito dalam sidang lanjutan suap ekspor benur.

"Saya melihat kegiatan yang dilakukan di Kementerian (KKP) sudah tidak mengarah keberlanjutan, juga tidak pro untuk nelayan kecil," kata Zulficar ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (3/3).

Baca juga : IBC Dorong KPK Ungkap Pasar Gelap Ekspor Benur

Zulficar mengatakan, kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 12 Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo.

Dia pun mengatakan Permen tersebut juga tidak berjalan sebagaimana mana mestinya, karena ada sejumlah hal teknis yang dilewatkan dalam perizinan perusahaan terkait ekspor benih lobster. "Tata kelola tidak sepenuhnya dijalankan,” timpalnya.

Melihat hal tersebut, Zulficar pun menilai Permen yang dikeluarkan Edhy Prabowo dapat memicu terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan KKP.

Baca juga : DPR Ingatkan Polri Untuk Tetap Konsen Terhadap Kejahatan ITE

Atas dasar itu, Zulfikar memilih mundur dari jabatannya sebagai Dirjen Perikanan Tangkap KKP pada pertengahan bulan Juni 2020. “Saya khawatir komitmen anti korupsi identitas ini perlu diingatkan, sehingga saya mengundurkan diri," tutupnya.

Suharjito didakwa telah menyuap menteri Edhy Prabowo sebesar 103 ribu dolar AS atau setara Rp 1,4 miliar, dan Rp 760 juta dalam kurun waktu bulan Mei hingga November 2020.

Pemberian suap tersebut dengan maksud supaya Edhy Prabowo mempercepat proses rekomendasi persetujuan pemberian izin budidaya sebagai salah satu syarat pemberian izin ekspor Benih Bening Lobster (BBL) kepada PT DPPP milik Suharjito.

Baca juga : Dirjen Kekayaan Intelektual : Kepastian Hukum Merek Penting Agar Tak Timbul Permasalahan

Uang suap itu diberikan melalui perantara, di antaranya lewat dua staf khusus menteri KKP, Andreau Misanta Pribadi dan Safri, kemudian Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, dan Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi sebagai anggota DPR. [BYU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.