Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Kota dan PTM

Jumat, 11 Juni 2021 14:03 WIB
Dr. Tantan Hermansah, Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat
Dr. Tantan Hermansah, Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat

RM.id  Rakyat Merdeka - PTM atau Pembelajaran Tatap Muka saat ini menggema seiring dengan optimisme banyak pihak mengenai kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merespon pandemi Covid-19.

Pemerintah pun kemudian merespons keinginan banyak pihak, terutama pengelola lembaga pendidikan dan orang tua siswa, dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, yang basisnya adalah beberapa pembatasan, seperti: jumlah kumpulan siswa dalam satu kelas tidak boleh lebih dari 25%; maksimal tatap muka hanya 2 jam dan 2 hari dalam seminggu, serta tetap menerapkan prokes (protokol kesehatan) yang ketat.

Baca juga : Kasus Kakap KPK

PTM tentu merupakan kebutuhan. Apalagi sebelum adanya pandemi. PTM adalah budaya PBM (Program Belajar Mengajar) yang dilaksanakan untuk mendidik siswa dan mahasiswa pada berbagai insitusi pendidikan.

Hampir semua desain pendidikan diarahkan untuk menunjang kesuksesan PTM ini. Sehingga ketika terjadi disrupsi model pembelajaran dari sistem tatap muka ke daring, tentu saja kebanyakan dari kita mengalami dan merasakan guncangan itu. Lembaga pendidikan, institusi keluarga, dan masyarakat umum, semua merasakan guncangan akibat adanya shifting desain pembelajaran di sekolah atau kampus.

Baca juga : Kota dan Modal Budayanya

Di masa normal, dampak PTM ini sangat besar kepada masyarakat perkotaan (dan juga sebagian ke masyarakat pedesaan, tentu). Lihat saja, sekolah-sekolah berlomba-lomba membuat program yang “kelas dunia”, berbahasa dunia, kompetisi se-dunia atau antar negara-negara di dunia, serta yang tidak terlewati: bangunan mentereng yang (katanya) kelas dunia. Selain yang levelnya dibuat mendunia, sekolah lain pun berlomba-lomba menawarkan program-program berbasis “menyamankan” customer (dalam hal ini orang tua dan siswa).

Dampak dari semuanya adalah bahwa semua visualisasi itu harus ditopang oleh sumberdaya yang melekat kepada masing-masing. Kualitas pendidikan kepada institusi sekolah/ kampus; dan dana yang tidak murah kepada orang tua siswa/ mahasiswa.

Baca juga : Papua Dan DOM

Dampak turunannya adalah ekonomi masyarakat yang hidup. Para pengajar sejahtera, pengelola lembaga makmur, jasa-jasa ikutan seperti catering, antar jemput, tempat makan/ minum, serta tempat nongkrong para orang tua siswa, siswa dan mahasiswa ramai.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.