Dark/Light Mode

Soal Wacana Hukuman Mati Koruptor

Pengamat: Itu Bukan Urusan Jaksa Agung

Sabtu, 30 Oktober 2021 15:03 WIB
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih. (Foto: Ist)
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih. (Foto: Ist)

 Sebelumnya 
"Jadi jangan kita gebar-geber di proses penyitaannya saja, tapi jumlahnya berapa dan apakah betul itu milik tersangka atau dibeli oleh tersangka dengan uang korupsi?" imbuh Yenti.

Yenti juga mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung dalam kasus suap eks jaksa Pinangki Sirna Malasari yang masih dianggap belum memenuhi rasa keadilan.

"Jika mereka mengambil langkah-langkah yang tidak adil karena orang tersebut bagian dari Korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal, itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektif," bebernya.

Baca juga : Terobosan Demi Rasa Keadilan

Seharusnya, menurut KUHP, pejabat-pejabat tertentu yang melakukan tindak pidana harus ada pemberatnya.

"Jadi itu seperti duri dalam daging. Nanti orang ngomong, 'aduh sekarang galak ya, tapi terhadap korpsnya sendiri yang harusnya diperberat malah nggak', gitu. Nah diejek nantinya kan?" ingat Yenti.

Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti mengatakan, yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi.

Baca juga : Ketua KPK Dukung Jaksa Agung Kaji Hukuman Mati Buat Koruptor

Hal itu, perlu kerja sama semua pihak. Mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Jangan membuat sistem yang membuat orang mau korupsi.

"Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, dipenjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana korupsi secara sistematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif dan legislatif," urainya.

Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan. "Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP.

Baca juga : Korni: Semangat Sumpah Pemuda Wujudkan Kemajuan Bangsa

Yenti menyebut jika RUU KUHP disahkan, nantinya mekanisme hukuman mati akan berubah. Pidana mati tidak langsung dilakukan seperti sekarang ini. Tapi baru akan dilaksanakan bila 'inkracht-nya telah 10 tahun.

"Jadi bila sekarang dijatuhkan pidana mati, itu ada waktu 10 tahun untuk menilai kembali. Setelah 10 tahun, baru akan diputuskan 'oke pidana mati atau akan berubah' gitu, jadi pidana mati yang tertunda atau pidana mati percobaan," tandasnya. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.