Dark/Light Mode

Pandemi Di Era Post-Truth

Kamis, 11 November 2021 23:10 WIB
Raihan Argya Singgamata. (Foto: ist)
Raihan Argya Singgamata. (Foto: ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pandemi Covid-19 masih terjadi hingga hari ini. Entah sampai kapan pandemi ini akan usai, namun satu hal yang harus terus kita pegang teguh adalah pandemi ini pasti bisa kita atasi sesulit apapun situasi yang akan terus kita hadapi.

Berbicara soal pandemi, dunia di masa lalu juga pernah menghadapi situasi serupa yang bahkan menurut beberapa pakar lebih buruk daripada yang terjadi saat ini. Pandemi tersebut tidak lain adalah Pandemi Flu Spanyol yang terjadi pada periode dasawarsa kedua abad ke-20. Pandemi Flu Spanyol setidaknya telah menjangkiti 500 juta orang di seluruh dunia.

Bilamana kita melakukan komparasi dengan Pandemi Flu Spanyol, secara teoritis indikator umum yang menjadi penilaian suatu keadaan dapat disebut pandemi yaitu wabah yang berjangkit secara serempak di mana-mana tentu saja serupa, namun apabila kita melihat secara lebih detail situasi dunia saat ini tentu saja sudah sangat jauh berbeda dengan di masa lalu.

Disparitas 1 abad dirasa sudah sangat mengubah dunia ini dari segala macam aspek. Dari segala macam aspek tersebut terlihat perbedaan yang paling tampak adalah pandemi saat ini terjadi di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Pada akhir tahun 2019 sejak SARS-CoV-2 (virus korona yang menyebabkan infeksi pernapasan) muncul di Wuhan, China, semua pemberitaan di berbagai media mainstream maupun media sosial tidak terlepas dari isu mengenai Covid-19. Berbeda pada saat Pandemi Flu Spanyol melanda dunia dulu dimana terdapat keterbatasan teknologi informasi dan komunikasi sehingga berdampak kepada terbatasnya sarana pemberitaan suatu informasi.

Baca juga : Tantangan Corsec Pasca Pandemi di Era Digital

Maka dari itu wajar bila mobilitas informasi yang tersebar pada saat Pandemi Flu Spanyol terkesan masih sangat lambat (sluggish) dan didapatkan secara terbatas serta tidak serentak. Sekalipun pada saat itu cukup banyak informasi keliru yang diterima oleh masyarakat kondisinya saat itu tidak serta-merta sama seperti saat ini, karena penyebab keterbatasan sarana penyampaian informasi saat itu dilatarbelakangi oleh metode transfer informasi masih menggunakan cara-cara konvensional.

Namun, berbeda kondisinya dengan Pandemi Covid-19 saat ini dengan kemajuan teknologi (technological advancement) maka secara otomatis ketersediaan informasi mengenai pandemi menjadi amat melimpah. Namun sungguh disayangkan kelimpahan informasi (information abundance) tersebut tidak terus menerus membawa pemberitaan informasi sesuai dengan yang kita semua harapkan dikarenakan substansi informasi banyak yang tidak sesuai dengan fakta bahkan tidak jarang sengaja direkayasa untuk mencapai tujuan tertentu.

Saat ini, Pandemi Covid-19 hadir di saat dunia sedang memasuki sebuah fenomena yang disebut post-truth. Fenomena post-truth dipahami sebagai suatu kondisi dimana kebohongan kadang kala dapat diterima sebagai suatu kebenaran oleh pihak-pihak tertentu. Pemerintah melalui proses komunikasi publik bisa dikatakan merupakan sumber terpercaya yang bisa dijadikan sebagai referensi utama oleh masyarakat dalam memperoleh informasi dibandingkan dengan sumber alternatif lain.

Dalam situasi pandemi seperti saat ini komunikasi publik merupakan salah satu penentu (determinant) agar khalayak bisa menerima informasi secara utuh, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan karena sifat informasi yang semakin urgen untuk terus disebarluaskan secara up to date dan guna  menjawab berbagai pertanyaan dari masyarakat.

Sebagai contoh, negara dengan sistem demokrasi sekaliber Amerika Serikat yang menjadi kiblat sistem demokrasi di dunia, tidak luput dari masifnya penyebaran berita bohong seputar Covid-19 selama pandemi terjadi. Bahkan bisa dikatakan Amerika Serikat pernah menjadi “episentrum” penyebaran berita bohong ketika pandemi terjadi.

Baca juga : Pandemi Tanpa Pancasila Negara Bisa Chaos

Sebut saja sebuah penelitian dari Zignal Labs yang menyatakan bahwa berbagai informasi keliru terkait vaksin Covid-19 secara drastis bermunculan pada periode Juni hingga Juli 2021. Padahal, kurun waktu 2 bulan tersebut vaksinasi sedang berlangsung secara intensif di Amerika serikat.

Namun mengapa bisa penyebaran berita bohong seputar vaksin malah merajalela menguasai pemberitaan di Negeri Paman Sam tersebut. Adanya berita bohong yang diproduksi berkaitan dengan berdampak buruk pada timbulnya resistensi dari kalangan masyarakat tertentu dalam menerima vaksin Covid-19.

Serupa dengan kejadian di Amerika Serikat, di Indonesia sendiri penyebaran informasi keliru terkait Pandemi Covid-19 juga terjadi di berbagai platform pemberitaan utamanya di media sosial yang saat ini menjadi salah satu sumber pemberitaan favorit masyarakat Indonesia. Bahkan, tidak sedikit korban yang timbul sebagai akibat maraknya penyebaran berita bohong di media sosial.

Sebagai contoh baru-baru ini di Majene, Kepala Dinas Kesehatan setempat mengatakan bahwa vaksinasi di wilayah tersebut utamanya kepada para pelajar mengalami kendala dikarenakan tingginya pelajar beserta orang tua yang termakan informasi keliru seputar Covid-19. Akibat hal tersebut sampai dengan saat ini  pelajar yang sudah dilakukan vaksinasi masih rendah.

Rendahnya siswa yang telah dilakukan vaksinasi berdampak pada realisasi pemberlakuan kebijakan pembelajaran tatap muka di wilayah Majene. Padahal saat ini di berbagai wilayah di Indonesia vaksinasi sedang betul-betul gencar dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menekan penyebaran Covid-19. 

Baca juga : P(l)andemi Dan Pergerakan KPK

Dari uraian di atas beberapa contoh peristiwa yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri rasanya sudah cukup untuk menggambarkan kondisi faktual dan aktual saat ini bahwa Covid-19 bukan satu-satunya “musuh” yang kita hadapi di tengah pandemi ini. Ada “musuh” lain yang sama bahaya dengan Covid-19 yang juga harus kita hadapi dan kalahkan secara serentak bersama Pandemi Covid-19. 

Fenomena post-truth tidak boleh kita biarkan terus berkembang di Indonesia. Sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi kebenaran sudah sepatutnya kita semua memiliki tugas yang sama untuk menahan jangan sampai fenomena post-truth terus diberikan ruang untuk berkembang di Indonesia. Together we can, together we are stronger. 

Beban menghadapi pandemi saja sudah cukup menjadi “pekerjaan rumah” yang tidak mudah untuk dituntaskan, maka jangan sampai adanya fenomena post-truth semakin menambah beban “pekerjaan rumah” tersebut. Maka dari itu, seraya terus berdoa dan berjuang yang terbaik dalam menghadapi Pandemi Covid-19 ini besar harapan situasi saat ini bisa cepat berlalu dan kita semua dapat kembali beraktivitas seperti sediakala.

Oleh: Raihan Argya Singgamata

Penulis adalah Taruna Tingkat IV Akademi Kepolisian

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.