Dark/Light Mode

Tidak Dimakamkan di Kampung Halaman

Selasa, 17 Maret 2020 02:31 WIB
Ngopi - Tidak Dimakamkan di Kampung Halaman
Catatan :
Redaktur

RM.id  Rakyat Merdeka - Dalam budaya suku Batak, orang yang sudah meninggal kerap dibawa ke kampung halaman untuk dimakamkan. Di tanah leluhur tempat mereka berasal. Untuk dimasukkan ke tugu makam yang jadi salah satu ciri khas suku Batak. Apalagi, kalau yang meninggalnya sudah berusia lanjut. 

Namun, itu tidak dilakukan untuk nenek saya dari pihak ayah, atau opung boru saya, yang meninggal pertengahan bulan lalu. Tak seperti kakek atau opung doli yang sudah lebih dulu dimakamkan di kampung, opung boru saya dimakamkan di tanah perantauannya, Siantar. Lengkapnya, Kotamadya Pematang Siantar, Sumatera Utara (Sumut). 

Dalam budaya Batak, dikenal ada lima sub-suku. Meski sekarang itu jadi perdebatan. Saya dari sub-suku Batak Toba. Sub-suku ini biasanya berasal dari wilayah di sekitar Danau Toba. Meliputi empat kabupaten. Tobasa, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Tapanuli Utara. Sedangkan Pematang Siantar adalah tempat sub-suku Batak Simalungun berasal. 

Baca juga : Antara Cuaca dan Corona

Kota Pematang Siantar berjarak sekitar 126 Km dari ibukota provinsi, Medan. Sedangkan dari kampung asal leluhur saya, Marom, sebuah kampung yang indah di pinggiran Danau Toba, jaraknya sekitar 97 Km. Marom ada di Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumut. 

Dalam waktu normal, dari Siantar ke Marom, atau sebaliknya, paling lama bisa ditempuh dalam waktu 2,5 sampai 3 jam. Tapi, jarak yang ‘sedekat’ itu, tak membuat saya dan keturunannya yang lain sepakat untuk memakamkannya di kampung. 

Dalam rapat internal keluarga inti setelah kematian opung saya, satu per satu keturunannya dimintai pendapat. Di mana baikanya opung dimakamkan. Berbagai pendapat pun disampaikan. Dimulai dari anak tertua laki-laki hingga ke cicitnya yang paling kecil. 

Baca juga : Ska Ala Opera China

Hasilnya, mayoritas meminta opung dimakamkan di Siantar. Berbagai alasan diungkapkan. Paling banyak, agar jaraknya tidak terlalu jauh jika ingin berziarah. Keturunan opung saya memang banyak yang berdomisili di Siantar. Makanya, menurut saya keputusan itu bisa diterima. 

Selain itu, kondisi tugu makam keluarga besar saya, Keturunan Opung Tonggang Butarbutar, saat ini sudah tidak muat lagi dimasuki peti jenazah. Jadi, memang harus menunggu proses pembusukan jasad opung boru saya dulu. Agar nantinya muat untuk dimasukkan ke tugu makam itu. 

Kalau saya sendiri, memang lebih memilih dimakamkan di Siantar. Karena, meski Marom adalah kampung asal leluhur, saya terhitung jarang ke sana. Bahkan, seumur hidup saya, jumlahnya bisa dihitung dengan jari satu tangan. Soalnya, memang tak ada lagi keturunan opung saya yang tinggal di sana. 

Baca juga : Corona Oh Corona

Namun sebenarnya, suatu saat nanti, jadi kewajiban keturunan opung saya untuk membawa tulang belulangnya ke tugu makam di kampung halaman, karena adat Batak yang begitu kental, memang membuatnya harus dibawa ke sana. Hal yang suatu saat nanti juga harus dilakukan pada tulang belulang ayah saya yang saat ini berada di TPU Pondok Ranggon. Tapi, saat ini, saya, ibu, kakak, dan adik saya, belum rela tulang belulang ayah saya dipindahkan ke kampung. Alasannya? Balik lagi. Biar dekat kalau ziarah.

Paul Yoanda, Wartawan Rakyat Merdeka

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.