Dark/Light Mode

Parpol Belum Maksimal Lakukan Pendidikan Politik

Sabtu, 20 Juli 2019 19:55 WIB
Acara Focus Group Discussion (FGD) bertema
Acara Focus Group Discussion (FGD) bertema "Partai Politik dan Pendidikan Politik" di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (20/7). Acara ini merupakan kerja sama MPR dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. (Foto: Humas MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR Martin Hutabarat menilai, partai politik (parpol) belum maksimal memberikan pendidikan politik. Baik kepada kadernya, maupun masyarakat.

Indikasinya, masih banyak calon kepala daerah cabutan, dan kurangnya antusiasme masyarakat berpartisipasi dalam pesta demokrasi atau pemilu.

Menurut Martin, pendidikan politik di internal parpol berbanding lurus dengan jumlah kader yang ikut terjun dalam pemilu. Semakin sedikit kader partai yang ikut pemilu, proses pendidikan politik di internal partai semakin tidak berjalan.

"Ini terlihat dari pencalonan kepala daerag. Seringkali, uang diambil bukan kader terbaik parpol. Bahkan, kerap mengambil kader parpol lain," kata Martin dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema "Partai Politik dan Pendidikan Politik" di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (20/7).

FGD yang merupakan kerja sama MPR dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya ini,  dihadiri Ketua Badan Pengkajian MPR Dr.  Delis Julkarson Hehi, sertaWakil Ketua Badan Pengkajian Martin Hutabarat dan Rambe Kamarul Zaman.

Baca juga : 2 Klub Main Tak Sesuai Aturan, PSSI Didenda AFC

Melanjutkan keterangannya, Politikus Gerindra itu mengatakan, parpol berperan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, agar mendorong masyarakat berpartisipasi dalam politik atau mengikuti pemilu.

Namun, yang terjadi sekarang, pemilih cenderung menggunakan hak pilihnya karena faktor identitas atau agama. 

 "Ini terjadi karena parpol dan negara tidak memberikan pendidikan politik," paparnya. Padahal, kata Hutabarat, parpol memiliki tiga fungsi. Yaitu menyiapkan kader untuk kepemimpinan nasional -  baik di legislatif maupun eksekutif -, menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan pendidikan politik.

"Pendidikan politik dilakukan kepada internal parpol dan kepada masyarakat," katanya.

Senada, Rambe Kamarul Zaman mengatakan, konstitusi menempatkan parpol pada kedudukan yang penting, tertuang dalam Pasal 6A, yang menyebut pasangan capres dan cawapres diusung parpol dan gabungan parpol. Sedangkan dalam Pasal 22E disebutkan, peserta pemilu legislatif adalah parpol. 

Baca juga : Pendatang Baru Berpeluang Menangkan Pilkada NTB

Rambe mengatakan, parpol melakukan pendidikan politik kepada masyarakat bawah tentang memilih calon pemimpin, dengan melihat latar belakang dan kemampuan calon.  "Tapi, pemilih justru memilih karena money politics. Ini menunjukkan gagalnya pendidikan politik kepada masyarakat," ujarnya.

Sementara itu, peserta FGD Dr. Iza Rumesten memaparkan bahwa parpol tidak memiliki format pendidikan politik yang jelas. Kampanye akbar dalam pemilu bukan merupakan pendidikan politik, tetapi justru pengerahan dan mobilisasi massa. 

"Ini bukan format pendidikan politik yang sebenarnya," katanya. 

Iza menambahkan, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang format pendidikan politik.  Masih adanya pemilih golput juga memperlihatkan pendidikan politik yang belum berjalan maksimal. Menurutnya, pendidikan politik memiliki korelasi dengan partisipasi politik. 

Peserta FGD lainnya, Indah Febriani menyebutkan,pendidikan politik belum berjalan maksimal karena dua faktor.  Pertama,  parpol sibuk dengan persoalannya sendiri (masalah internal). Kedua, parpol hanya mengejar kekuasaan.  

Baca juga : Jokowi: Oposisi Itu Mulia, Asal Tak Timbulkan Dendam dan Kebencian

"Selain itu muncul distrust kepada parpol disebabkan banyaknya elit parpol, termasuk ketua umum parpol yang terlibat kasus korupsi dan kasus lainnya. Parpol menjadi satu lembaga yang terkorup.  Ini memunculkan antipati masyarakat. Pendidikan politik tidak berjalan maksimal karena adanya distrust dari masyarakat," katanya. 

Di akhir FGD,  Ketua Badan Pengkajian Delis menyampaikan, persoalan golput dan distrust sangat terkait dengan pendidikan politik. Pendidikan politik adalah memberi penyadaran kepada warga negara dalam soal kebangsaan.

"Parpol bisa memanfaatkan media sosial (medsos) untuk pendidikan politik. Kami harap, media sosial bisa menjadi sarana pendidikan politik. Jadi, medsos bukan sebagai tempat penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian, tapi untuk pendidikan politik," ujarnya. [QAR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.