Dark/Light Mode

Membesar Karena Karakter Gaya Jokowi

Mesti Berjuang Untuk Raih Suara Anak Muda

Selasa, 10 Januari 2023 09:45 WIB
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya (Foto: Istimewa)
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Perjalanan PDI Perjuangan sebagai partai ideologi tak perlu diragukan. Sejak berdiri hingga saat ini, yang sudah menginjak 50 tahun, PDIP Perjuangan konsisten berpegang teguh pada ideologi Nasionalis Soekarnois. Hal inilah yang membedakan PDI Perjuangan dengan partai-partai lain.

"PDI Perjuangan adalah partai yang paling konsisten berada di rel ideologi," ujar Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut pria yang akrab disapa Toto ini, PDI Perjuangan merupakan partai yang sudah melalui proses sejarah. PDI Perjuangan sudah berkiprah sejak negara ini baru didirikan.

Berkat konsistensinya memegang ideologi, PDI Perjuangan pun sukses melahirkan tiga Presiden RI: yaitu Soekarno saat masih bernama Partai Nasional Indonesia (PNI), Megawati Soekarnoputri, dan Joko Widodo. Namun, dalam perjalanannya, PDI Perjuangan juga sudah merasakan pahit getir di luar pemerintahan. Seperti saat 32 tahun Orde Baru berkuasa dan saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.

Toto melanjutkan, partai-partai lain yang baru terbentuk pasca reformasi, cenderung tanpa ideologi politik. Dengan kondisi ini, PDIP menjadi partai yang paling matang dan punya fondasi yang kuat. Apalagi kini usianya semakin matang, memasuki 50 tahun.

Salah satu kekuatan PDI Perjuangan, terang Toto, adalah perjalanan masa lalunya. Namun, kondisi ini tidak boleh membuat PDI Perjuangan terlena. Untuk menghadapi masalah saat ini dan ke depan, PDI Perjuangan harus menerjemahkan visi misinya menjadi partai yang adaptif, berorientasi pada masa depan, dan tidak terlena pada kejayaan masa lalu.

Baca juga : Jokowi Sopiri Anwar Ibrahim

Sikap adaptif, dengan tetap memegang teguh ideologi, terbukti ampuh bagi PDI Perjuangan untuk tetap menjadi pilihan masyarakat. Dalam dua periode terakhir, saat memegang kekuasaan, PDI Perjuangan tetap mengorbit pada lingkaran wong cilik.

"Slogan wong cilik atau karakter seorang Jokowi ini membuat sebuah terobosan, yang menurut saya, luar biasa. Kalau kita bicara, kan sebuah akselerasi," terang Toto.

Padahal, Jokowi jadi presiden dalam kondisi bangsa yang tidak mudah. Berbagai cobaan datang silih berganti. Namun, PDI Perjuangan tetap mampu mempertahankan diri sebagai partai dengan elektabilitas tertinggi. Bahkan, dukungan ke PDI Perjuangan besar dibandingkan masa-masa sebelumnya. Menurut Toto, hal ini dikarenakan ciri khas PDIP yang berpihak terhadap wong cilik, dipadukan gaya inovasi dari karakter seorang Jokowi.

Namun, harus diakui juga, tantangan terbesar PDI Perjuangan adalah citra partai di mata milenial. "Seperti omongan saya tadi, partai ini besar karena kejayaan di masa lalu. Kalau milenial kan bicara masa depan. Itu menurut saya yang masih menjadi tantangan," ungkap Toto.

Lalu, bagaimana cara menggaet suara milenial? Kata Toto, PDI Perjuangan harus mengedepankan tiga C. Pertama, critical voters. Partai harus memahami jika generasi milenial adalah pemilih yang paling kritis dibandingkan segmen lainnya. Jangan sampai PDIP justru menjadikan milenial sebagai objek semata. PDI Perjuangan perlu melakukan dialog dan pendekatan bottom up. "Kenapa demikian? Milenial adalah generasi yang paling cerdas, karena berada dalam era teknologi informasi digital, mereka penguasanya," jelas Toto.

Kedua, communicative. Toto menerangkan, anak muda sekarang hanya bisa didekati dengan bahasa mereka. Sehingga, mau tidak mau, proses regenerasi partai harus berjalan dengan baik, untuk menggapai kalangan ini. Tidak bisa sebuah partai bergantung pada nama-nama besar, yang memiliki gap alias jarak dengan generasi milenial.

Baca juga : Jokowi Happy Investor Didominasi Anak Muda

"Mau tidak mau, termasuk dalam proses pencalegan, pemilihan jubir, termasuk ketika turun ke masyarakat, mereka mulai banyak menggunakan kader anak-anak muda. Tentu hal ini bisa dilakukan jika proses kaderisasi berjalan," pesan Toto.

Ketiga, community. Menurut Toto, generasi milenial tak bisa lagi diserap dengan cara-cara lama, yakni dengan metode pendekatan ke orang tua atau keluarganya. Generasi milenial paling mudah terpengaruh oleh teman-temannya, dengan hobi yang sama atau suatu komunitas. Artinya, pendekatan hard politics melalui organisasi kemasyarakatan, underbow partai, atau kegiatan partai, tak cocok dilakukan. PDI Perjuangan harus menggunakan soft politics, berbasis komunitas.

"Itu yang saya kira masih kurang dilakukan partai, termasuk PDIP. Dan itu menjadi tantangan tersendiri. Terutama ketika kita masuk di era 2024 yang dekat dengan bonus demografi," terang Toto.

Apakah dengan instrumen itu, PDI Perjuangan mampu hattrick? Menurut Toto, kekuatan terbesar PDIP berada pada basis massa fanatik ideologis. Dengan hal ini, partai berlogo banteng itu mampu membangun infrastruktur politik yang luar biasa.

Hanya saja, kemenangan Pemilu tidak cukup hanya menggunakan infrastruktur politik, alias berdasarkan pada massa ideologis. Ada faktor ketokohan yang bisa menjadi magnet elektoral. Terbukti, pada 2004, ketika PDI Perjuangan hanya mengandalkan basis massa ideologis, Megawati harus mengakui kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, ketika basis massa ideologis itu dipegang Megawati dan disandingkan dengan magnet elektoral baru yang disukai publik bernama Jokowi, PDI Perjuangan bisa memenangkan Pemilu dua kali. "Jadi, mau tidak mau formula yang sama harus digunakan," kata Toto.

Menariknya, basis massa ideologis PDI Perjuangan sudah tercipta. Bahkan mereka punya bonus keberhasilan Jokowi, terlihat dari kepuasan publik terhadap kinerja Presiden masih tinggi. Sehingga, ketika itu disandingkan dengan capres yang kuat, formula itu akan sangat mujarab memenangkan Pemilu ketiga kalinya.

Baca juga : Kerja Narasi Super Penting Untuk Lindungi Anak Muda dari Radikalisme

Lalu, siapa capres kuat yang dimaksud? Toto tak ingin asbun alias bunyi. Hingga saat ini, ada tiga nama bakal capres kuat dari setiap rilis lembaga survei. Mereka adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

"Simpel, ada salah satu kader PDIP di situ, yang betul-betul seorang kader. Bahkan jika dibandingkan dengan Jokowi sekalipun, Ganjar jauh lebih punya kedalaman historis dengan PDIP, sejak 1993. Artinya, efek ekor jas langsung bisa didapatkan PDIP di Pileg sekaligus untuk memenangkan Pilpres," ulas Toto.

Hanya saja, Ganjar seorang belum cukup. Tanpa infrastruktur politik atau basis massa ideologis, Gubernur Jawa Tengah itu tak mungkin bisa menang. "Bersandingnya dua kekuatan itu bisa menjadi kombinasi yang kuat untuk mencapai hattrick," imbuh Toto.

Bagaimana dengan Puan Maharani? Kata Toto, Puan saat ini merupakan sosok yang paling dianggap mewakili Megawati untuk konsolidasi internal. Sehingga, PDI Perjuangan bisa memberikan peran kepada Puan untuk mendorong kekuatan besar seperti Ganjar maju dalam Pilpres.

Sedangkan untuk bakal cawapres Ganjar, merujuk kepada tiga orang. Ketiga orang tersebut harus menjadi variabel komplementer. Artinya, bisa menutupi suara Ganjar di daerah-daerah yang lemah, seperti Jawa Barat, Sumatera, dan Kalimantan.

Kata Toto, sosok Ridwan Kamil bisa mendongkrak suara Ganjar di Jawa Barat. Atau Sandiaga Uno yang cukup kuat di Sumatera atau Sulawesi. "Kalau paling kuat sih bersanding dengan Pak Prabowo. Dua sosok yang masuk dalam tiga besar dan memiliki basis massa dan segmen pada wilayah yang berbeda," pungkasnya.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.