Dark/Light Mode

Menggoda Koalisi Lawan

Rabu, 23 Agustus 2023 00:06 WIB
BUDI RAHMAN HAKIM
BUDI RAHMAN HAKIM

RM.id  Rakyat Merdeka - Peta politik menjelang Pilpres 2024 sangat dinamis. Memang, saat ini sudah terbentuk tiga poros koalisi. Pertama, PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo yang mendukung Ganjar Pranowo. Kedua, Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PBB dengan jagoannya Prabowo Subianto. Ketiga, NasDem, Demokrat, dan PKS yang mengusung Anies Baswedan. Namun, masing-masing poros nampak belum puas dengan komposisi yang dimiliki. Mereka berusaha merayu parpol yang sudah “mengikat janji” dengan koalisi lain.

Yang paling kentara terlihat dari poros PDIP dan Gerindra. Kekuatan dua poros ini sebenarnya sangat besar. Masing-masing sudah jauh melampaui angka Presidential Threshold yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, sepertinya mereka ingin kekuatan yang lebih besar lagi dengan asumsi mempermudah meraih kemenangan.

PDIP terlihat sangat aktif. Mereka menurunkan dua simbol langsung untuk melakukan lobi-lobi, yaitu Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Puan sudah banyak menemui pimpinan parpol lain untuk menjajaki koalisi. Mulai dari Ketua Umum NasDem Surya Paloh, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar Cak Imin, sampai Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.

Baca juga : Merdeka Dari Polusi Udara

Tak cukup Puan, Ganjar pun turun gunung melakukan lobi. Pekan kemarin, Ganjar bertemu Cak Imin, lalu berjumpa dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Meski hasilnya belum kelihatan, PDIP bertekad untuk terus melakukan komunikasi sampai pendaftaran Capres-Cawapres di KPU dimulai, pada 19 Oktober nanti.

Dari poros Gerindra, gerakannya memang tak seagresif PDIP. Namun, banyak yang meyakini, saat ini Gerindra sedang memantau “nasib” PPP di poros PDIP. Sebab, PPP masih berpeluang besar untuk ditarik ke Gerindra, mengingat di PDIP belum ada kepastian Sandiaga Uno bakal menjadi Cawapres pendamping Ganjar.

Sedangkan untuk poros NasDem, meski terlihat sibuk melakukan lobi-lobi, tapi mereka tetap mengklaim bakal ada satu parpol tambahan yang akan bergabung. Mereka mengklaim agresif dalam menambah kekuatan sambil menunggu dinamika yang terjadi di koalisi lainnya.

Baca juga : Yenny Ternyata Tergoda Jadi Cawapres Anies

Sebenarnya, tidak ada jaminan koalisi yang gemuk akan memenangkan pertarungan dalam Pilpres. Sudah banyak bukti menunjukkan hal itu. Mulai dari Pilpres langsung pertama pada 2004 sampai pada Pilpres 2014.

Di Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) hanya didukung empat parpol yang suaranya mayoritas kecil-kecil. Yaitu Demokrat, PPP, Partai Keadilan, dan PKPI, yang jika digabung hanya 11 persen. Namun, SBY-JK mampu menumbangkan para pesaingnya untuk melaju ke putaran kedua, dan kemudian memenangkan Pilpres dengan meraih 60 persen suara.

Di Pilpres 2014 juga sama. Saat itu, jumlah dukungan parpol yang dimiliki Jokowi-JK kalau jauh dibanding dukungan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi-JK hanya didukung 37,14 persen, dengan komposisi PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura. Namun, Jokowi-JK bisa mengalahkan Prabowo-Hatta, yang didukung 6 parpol plus Demokrat.

Baca juga : Politik Kemanusiaan

Namun, koalisi besar juga punya sejarah menang. Seperti pada Pilpres 2009, saat SBY-Boediono didukung 23 parpol. Lalu, para Pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf Amin didukung oleh 10 parpol.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.