Dark/Light Mode

Stunting Vs SDM Unggul

Sabtu, 31 Agustus 2019 20:12 WIB
Yuli Supriyati (Foto: Istimewa)
Yuli Supriyati (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Dalam pidato kenegaraan HUT ke-74 Kemerdekaan RI, Presiden Joko Widodo menegaskan untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang pintar dan berbudi pekerti luhur harus didahului oleh SDM sehat dan kuat. Salah satunya dengan menurunkan angka stunting. "Kita turunkan angka stunting sehingga anak-anak kita bisa tumbuh menjadi generasi yang premium," ujar Jokowi di kompleks parlemen Jakarta, Jumat (16/8). 

Dari penggalan pesan Presiden tersebut, jelas antara stunting dan SDM yang unggul berkaitan sangat erat. Sudah bukan rahasia lagi “stunting” menjadi kata yang cukup populer akhir-akhir ini. Sebab, dalam satu tahun terakhir, kasus-kasus stunting bermunculan di seluruh penjuru negeri. Stunting menjadi kata yang kerap terdengar dari ucapan para pemangku kebijakan, baik di level kementerian hingga di aparatur pemerintahan kota/kabupaten. 

Stunting adalah sebuah kondisi di mana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia dua tahun. Selain dampak terhambatnya pertumbuhan fisik, anak stunting juga akan mengalami penurunan kecerdasan. 

Maka tak heran, bicara tentang stunting menjadi terkesan keren, namun sekaligus menyisakan kekhawatiran akan masa depan Indonesia. Apa jadinya negeri ini bila di masa mendatang diisi oleh generasi muda yang tidak mumpuni? 

Baca juga : KLHK Dukung Inovasi SDM Unggul di Kemerdekaan RI Ke-74

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sebanyak 30,8% balita menderita stunting dan sebanyak 17,7% balita Indonesia masuk dalam kategori gizi buruk/gizi kurang. Bayangkan, nyaris setengah dari jumlah balita saat ini tumbuh dalam kondisi asupan gizi yang tidak maksimal. Pun juga pupulasi ini nantinya akan menjadi beban negara, mengingat anak-anak dengan riwayat masalah gizi akan rentan terkena penyakit tidak menular. 

Intervensi dari pemerintah jelas di perlukan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya mencegah stunting melalui program pemberian makanan tambahan (PMT). PMT berupa biskuit dengan kandungan gizi yang tinggi ini diberikan untuk ibu hamil dan balita. Sejauh ini, PMT dinilai cukup berhasil untuk meningkatkan kecukupan asupan gizi ibu hamil dan balita. 

Isu stunting dan gizi buruk juga mengusik BPOM. Pada Oktober 2018, BPOM mengesahkan PerBPOM No 31 tahun 2018 tentang label pangan olahan. Langkah ini juga patut di apresiasi mengingat didalamnya terdapat sejumlah pasal yag mengatur tentang label dan promosi susu kental manis, produk yang sempat menjadi polemik karena memicu gizi buruk balita di sejumlah daerah. Meski termasuk ke dalam kategori produk susu, namun susu kental manis minim kandungan gizi dan tinggi kandungan gula. 

Bertahun-tahun diiklankan sebagai susu, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gizi serta konsumen yang tidak terbiasa membaca label, maka tak heran produk yang seharusnya berfungsi sebagai penambah rasa dalam masakan itu juga diberikan sebagai minuman susu untuk balita. Alhasil, konsumsi gula anak tinggi, pola makan anak juga terganggu. Anak terancam kekurangan gizi. 

Baca juga : Begini Cara Airlangga Cetak SDM Industri Unggul

Melalui PerBPOM No 31 tahun 2018, BPOM meminta produsen susu kental manis melakukan penyesuaian terkait label dan cara beriklan dalam waktu 30 bulan. Gayung bersambut, iklan-iklan susu kental manis yang semula menampilkan anak-anak meminum susu berubah menjadi sajian kue-kue. Produsen seolah turut menyadari kekeliruan mereka dalam beriklan selama ini. 

Tak cukup sampai disitu, sejumlah pegiat kesehatan dan pemerhati kesehatan anak turun ke lapangan, memberikan edukasi langsung kepada masyarakat. Organisasi masyarakat seperti Aisiyah dan Muslimat NU pun turut ambil bagian. Pengetahuan tentang gizi diberikan, baik di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, hingga ke pelosok seperti komunitas masyarakat adat suku Baduy. Dan seperti yang sudah di duga, susu kental manis masih diberikan sebagai minuman untuk balita dan anak-anak. 

Temuan lain yang cukup mengejutkan adalah adanya promosi kental manis yang dilakukan di dalam lingkungan PAUD di daerah Depok. Tak hanya itu, sebuah pesantren di Makassar ternyata setiap pagi memberikan segelas susu kental manis untuk siswa-siswanya. Di pasar-pasar dan perkampungan, event-event offline digelar untuk kembali memikat konsumen. Kita ternyata kecolongan. Dinas kesehatan setempat dan BPOM juga tidak terinformasi. Promosi susu kental manis sebagai minuman susu memang sudah tak beredar di televisi, namun beralih strategi langsung ke konsumen. Ironis sekali. 

Kembali ke tema pidato kenegaraan dimana presiden sangat serius dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kita memang perlu optimis dan berfikir positif bahwa akan ada perubahan yang lebih baik untuk negeri ini. Namun, menyadari realita di lapangan, kucing-kucingan antara pemerintah dan produsen, saya berharap komitmen Presiden RI untuk menciptakan generasi yang unggul dan berkualitas untuk membawa kemajuan bagi Indonesia tidak hanya sebatas naskah pidato di atas selembar kertas.

Baca juga : Sudah Jarang Mangku

Yuli Supriyati, Pegiat Kesehatan Anak/Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.