Dark/Light Mode

Konflik Agraria

Warga 3 Desa Muaro Jambi Sudah 12 Tahun Konflik Tanah

Jumat, 22 Februari 2019 11:34 WIB
Warga Jambi, protes kepada perusahaan sawit. (Foto: Mongabay).
Warga Jambi, protes kepada perusahaan sawit. (Foto: Mongabay).

RM.id  Rakyat Merdeka - Sudah 12 tahun warga Desa Seponjen, Desa Sogo, dan Kelurahan Tanjung, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit. Akar masalahnya, warga tidak terima tanahnya dirampas perusahaan.

Sementara pada Pemilu 2019 ini, janji-janji politik kembali berseliweran. Warga tiga desa ini merespons janji-janji politik itu. Salah satunya dengan menduduki kembali tanahnya yang diklaim dirampas perusahaan. Aksi digelar pada 11-15 Februari 2019. Aksi itu berakhir tanpa ada kejelasan kapan tanah warga akan dikembalikan.

Perwakilan warga Desa Seponjen, Budiman menceritakan, sebelum perusahaan datang warga setempat menghidupi diri dengan menanam jagung dan nanas. Ada juga warga yang mencari hasil hutan seperti rotan, pandan, jelutung dan ikan di sungai.

“Sekarang semuanya sudah tidak ada lagi, kalau dulu masyarakat bisa membiayai anak sekolah sampai perguruan tinggi sekarang sudah tidak bisa,” katanya, di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jalan Tegalparang Utara, Jakarta, kemarin.

Baca juga : Steve Emmanuel Ngaku Udah 10 Tahun Konsumsi Kokain

Sejak perusahaan perkebunan sawit PT Bukit Bintang Sawit (BBS) datang pada 2007, lahan warga dirampas. Saat itu BBS hanya mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dengan luas lahan 1.000 hektare. Tanpa HGU maupun AMDAL.

“Tapi, 176,4 hektare lahan warga malah diserobot. Perusahaan bagi-bagi uang ke desa, masyarakat ditawari Rp 2,5 juta per 6,3 hektare, masyarakat menolak. Ditawari kerjasama juga tapi tidak pernah terjadi,” ungkapnya.

Perwakilan warga Kelurahan Tanjung, Saidi menuturkan, konflik dengan BBS bermula ketika pembukaan jalan menuju Desa Sogo dan Desa Seponjen melalui Kelurahan Tanjung. Setelah jalan dibuka, lahan warga di Kelurahan Tanjung juga diserobot.

Selama konflik berlangsung, sudah tiga kali pergantian Bupati Muaro Jambi. “Bupati yang sekarang adalah putra asli desa kami, malah dia tidak berani ambil sikap mengembalikan lahan masyarakat yang dirampas perusahaan,” imbuhnya.

Baca juga : Ronny Sianturi Dorong Pemuda Bangun Potensi Daerah

Direktur Walhi Provinsi Jambi, Rudiansyah menuturkan, pada 2018 lalu ada 181 konflik agraria di Jambi. “Tahun lalu kita ajukan 18 desa ke pemerintah provinsi agar dicarikan resolusi konflik tapi sampai sekarang belum ada langkah nyata,” sebutnya.

Di tiga desa itu ada 495 kepala keluarga (KK) jadi korban dengan luas lahan sekitar 1.373 hektare. Lahan tersebut merupakan tanah ulayat dan tanah adat.

“Pada 2015, Kepala Staf Presiden waktu itu, Teten Masduki juga datang ke Muaro Jambi untuk temui masyarakat yang menjadi korban perampasan lahan, tapi konflik masih berlanjut,” katanya.

Apalagi pada 2015 lahan yang menjadi sengketa mengalami kebakaran. Lahan yang juga mencakup area gambut itu bahkan masuk sebagai wilayah prioritas restorasi.

Baca juga : Masalah Honorer K2 Belum Beres Juga Nih

“Sampai saat debat capres, Jokowi menyebut tidak ada konflik agraria, sementara sampai saat ini warga masih diintimidasi oleh preman dan pelaporan kepada polisi,” tandasnya. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.