Dark/Light Mode

Ini 5 Penyebab Harga Batubara Naik Gila-gilaan, Nomor 1 Lonjakan Kebutuhan Listrik Di India

Rabu, 6 Juli 2022 20:34 WIB
Ilustrasi batubara (Foto: Istimewa)
Ilustrasi batubara (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kini menjabat Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk Arcandra Tahar, menyoroti gejolak harga batubara pada tahun ini, yang menimbulkan krisis multi-dimensi di beberapa negara.

Batubara yang diharapkan bisa dikurangi penggunaannya - baik untuk pembangkit listrik (thermal coal) maupun untuk industri pengolahan mineral (coking coal) - malah semakin tinggi kebutuhannya.

Hal ini tentu akan berdampak pada usaha untuk mengurangi emisi gas buang, akibat penggunaan batubara ini.

Baca juga : PLN Dukung Toyota Kembangkan Kendaraan Listrik Di Indonesia

Arcandra mencontohkan, harga batubara untuk kalori 6.000 kcal/kg NAR, FOB di Newcastle Australia misalnya, sudah di atas 400 dolar AS per ton untuk pengiriman kuartal ketiga tahun ini.

"Bandingkan dengan harga rata-rata pada tahun 2020, untuk kalori yang sama, yang hanya 60 dolar AS per ton. Naik sekitar 7 kali lipat," papar Arcandra via akun Instagramnya, Rabu (6/7).

Ongkos yang ditanggung oleh pembeli batubara ini, kemudian diteruskan ke konsumen lewat naiknya harga energi, yang berujung pada inflasi di negara tersebut.

Baca juga : KPK Turun Tangan Bantu Usut Kelangkaan Migor Dan Bahan Pokok Lainnya

Menurutnya, ada lima faktor yang bisa menjadi petunjuk, kenapa harga batubara dunia bisa begitu melonjak di tahun ini.

"Pertama, India sebagai salah satu negara pengimpor batubara terbesar di dunia mengalami kenaikan kebutuhan listrik pada tahun ini. Kondisi ini diperparah oleh turunnya produksi batubara dalam negeri, akibat musim hujan yang di atas normal," jelas Arcandra.

Sektor kelistrikan di India sangat bergantung pada batubara (44 persen), oil (25 persen) dan biomass (13 persen).

Baca juga : Menteri BUMN Dorong Batu Bara Untuk Penuhi Kebutuhan Nasional

Kontribusi dari nuklir dan gas semakin berkurang, sehingga batubara menjadi pilihan yang tidak terelakkan.

Kedua, terganggunya ketersedian energi untuk pembangkit listrik dan pemanas di Eropa. Terutama, ketidakpastian suplai gas dari Rusia. Sekali lagi, krisis Rusia dan Ukraina menyadarkan kita terhadap dampaknya pada banyak sektor.

"Lebih jauh lagi, suplai listrik dari PLTA di negara-negara Skandinavia dan gangguan pembangkit nuklir di Perancis, telah menambah tekanan untuk mencari energi pengganti. Dengan sangat terpaksa pilihan jatuh pada penggunaan kembali PLTU. Sebagai contoh, pemerintah Jerman akan menghidupkan kembali 9 GW PLTU pada tahun ini," terang Arcandra.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.