Dark/Light Mode

Dilema Power Wheeling dalam Meningkatkan Investasi EBT di Indonesia

Senin, 22 April 2024 09:38 WIB
Power grid, sistem terpadu yang bekerja untuk mentransmisikan listrik. (Foto: Pexels)
Power grid, sistem terpadu yang bekerja untuk mentransmisikan listrik. (Foto: Pexels)

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memutusakan untuk menghapus persoalan power wheeling dari daftar inventaris masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan atau RUU EBT. Tindakan ini menimbulkan dilema, mengingat power wheeling sebagai suatu alternatif metode penyediaan energi terbarukan sangat berpotensi untuk meningkatkan aktivitas investasi industri energi di Indonesia. Lantas, apakah keputusan pemerintah telah seutuhnya tepat?

Implementasi power wheeling ini melibatkan setidaknya dua aktor utama: PLN dan pihak swasta atau independent power producers (IPP). IPP sebagai pihak pengelola energi terbarukan melalui mekanisme power wheeling akan berkesempatan untuk menyalurkan hasil produksi energi tersebut secara langsung kepada konsumen dengan menyewa infrastruktur transmisi listrik yang dimiliki oleh PLN. Hal ini seharusnya sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mengikutsertakan peran swasta melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menyedikan porsi bagi pihak swasta untuk mengelola 56,3% dari total gigawatt energi terbarukan. Namun, keputusan pemerintah menunda pembahasan power wheeling dalam RUU EBT bukanlah tanpa alasan.

Menilik peran swasta dalam penyediaan energi di Indonesia membawa kita kepada salah satu momen kelam krisis ekonomi tahun 1997. Sebelum itu, Indonesia telah terlanjur menandatangani 27 kontrak IPP setelah bertahun-tahun memonopoli produksi listrik sebagai tindakan mitigasi atas kuantitas hasil produksi yang tidak mencukupi kebutuhan nasional. Indonesia tidak sendiri. Beberapa negara tetangga seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia pun melakukan hal yang serupa. 

Baca juga : Denny JA Jadi Pelopor Seni Rupa AI Di Indonesia

Krisis yang terjadi beberapa tahun setelahnya membuat keputusan ini menjadi jerat bagi Indonesia karena harus menanggung kontrak take or pay yang artinya negara memiliki tanggung jawab untuk membayar pasokan listrik yang tidak lagi dibutuhkan. Meluncurnya angka penggunaan listrik dan melemahnya nilai rupiah berkolaborasi menghasillkan beban biaya tanggungan energi listrik yang sangat membengkak, berakibat pada peningkatan tarif listrik yang tentunya sangat membebani keadaan masyarakat pada masa krisis.

Tantangan yang hampir berkebalikan justru dihadapi sekarang. Indonesia kini mengalami oversuplai pasokan listrik karena penurunan kebutuhan yang terjadi selama pandemi COVID-19 sehingga dengan sistem take or pay yang sama, kerugian juga akan ditanggung oleh negara. Hal ini menunjukkan posisi power wheeling sebagai ancaman apabila ditinjau dari ketahanan tarif listrik nasional karena nilainya akan sangat mengikuti dinamika keadaan pasar. Hadirnya persaingan antara negara dengan pihak swasta dalam hal penyediaan listrik dapat menimbulkan kekacauan apabila tidak didasari kesepakatan yang seimbang, terlebih ketika negara harus dihadapkan dengan perubahan mendadak seperti saat terjadinya pandemi ataupun krisis ekonomi.

Indonesia dengan target capaian bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 dan penetapan target net zero emission pada tahun 2060 sejatinya memiliki mimpi yang cukup ambisius dalam hal percepatan transisi energi. Namun, realisasi investasi energi terbarukan justru didapati menurun hingga 6,3% pada tahun lalu, menunjukkan kemunduran progres pemerintah dalam mendorong pertumbuhan energi terbarukan. Salah satu hal yang mendasari hal tersebut adalah kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro EBT dan ketidaksiapan pemerintah dalam menyediakan lanskap energi bersih yang menjajikan bagi investor.

Baca juga : Dubes Iran Mohammad Boroujerdi Ucapkan Selamat Idul Fitri Buat Muslim Indonesia

Hal ini memberikan kesempatan bagi power wheeling untuk dipertimbangkan dari perspektif lain. Masih terdapat sangat banyak sektor yang perlu dijamah, termasuk permintaan energi dari sektor industri yang termasuk ke dalam inisiatif RE100 yaitu gabungan ratusan perusahaan besar yang bersama-sama berkomitmen untuk mencapai target penggunaan energi listrik terbarukan sebesar 100% pada 2050.

Perusahaan-perusahaan ini termasuk ke dalam golongan pengguna energi listrik yang paling signifikan dan bisa dipastikan keputusannya untuk melakukan transisi energi akan sangat mempengaruhi iklim penyediaan energi di Indonesia. Segala inovasi positif dalam meningkatkan investasi EBT sudah seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk dapat merealisasikan targer-target fantastis tersebut, selama pemerintah mampu mengatur kebijakan yang tepat untuk mengawasi dan membatasi risiko-risiko yang mungkin disebabkan olehnya.

Pemberlakuan power wheeling dapat dioptimasi dengan menentukan parameter iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki tantangan yang spesifik dalam memastikan kesetaraan distribusi energi listrik ke seluruh pelosok daerahnya sehingga pemanfaatan power wheeling untuk daerah-daerah tertentu khususnya di wilayah timur Indonesia yang memiliki sumber daya energi matahari melimpah dapat menjadi standar untuk memperhitungkan kelayakan porsi pengoperasian EBT di wilayah tersebut, termasuk dalam penentuan perizinan pengaplikasian power wheeling.

Baca juga : ESDM Pantau 24 Jam Peningkatan Aktivitas Bencana Selama Lebaran

Parameter lainnya yang dapat dijadikan pedoman adalah muatan ketersediaan energi listrik pada suatu wilayah. PLN sangat mungkin diuntungkan apabila energi terbarukan yang dalam hal ini hadir dalam bentuk power wheeling berkolaborasi dalam menyediakan pasokan listrik untuk wilayah-wilayah tinggi konsumsi energi listrik. Kebijakan yang mengatur sistem operasional power wheeling berdasarkan kedua parameter ini mengizinkan kesempatan antara pemerintah dengan IPP untuk saling menyokong kebutuhan energi listrik Indonesia sesuai tuntutan geografis dan intensitas penggunaan listriknya.

Selain menjadi kriteria dalam membobotkan kelayakan operasional, pengendalian tarif juga dapat dilakukan berdasarkan kedua parameter tersebut. Tarif yang dikenakan untuk setiap konsumsi energi listrik dari suatu IPP sebaiknya diatur berdasarkan risiko masing-masing investasi pendiriannya, sehingga kerugian yang mungkin terjadi ketika hasil produksi listrik lebih atau bahkan kurang dari jumlah pasokan yang disepakati dapat dipangkas sesuai nilai tambah yang telah lebih dulu ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa selama energi terbarukan belum terdistribusi secara merata ke seluruh daerah di Indonesia, maka akan diperlukan penyesuaian tarif sesuai kelayakan investasi penyediaan energi tersebut, khsususnya dalam skema power wheeling.

Sesuai Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 yang menekankan potensi pembangunan infrastruktur listrik berbasis kemitraan selama listrik yang dihasilkan berasal dari energi terbarukan, sudah sepatutnya diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodasi peluang-peluang kerja sama ini, termasuk dengan pihak swasta sekalipun dalam rangka memenuhi misi peningkatan investasi energi terbarukan di Indonesia.

Bertrand Vigassa Sirait
Bertrand Vigassa Sirait
Mahasiswa

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.