Dark/Light Mode

Adaptasi Biorefinery Mikroalga untuk Mencegah Krisis Iklim di Wilayah Pesisir

Sabtu, 20 April 2024 22:44 WIB
Pantauan citra satelit kualitas udara Indonesia. (Foto: IQAir)
Pantauan citra satelit kualitas udara Indonesia. (Foto: IQAir)

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 108.000 kilometer dan 17.001 pulau. Namun, selama beberapa dekade terakhir sekitar 20% (3,2 - 4 m per tahun) garis pantai mulai mengalami abrasi karena kenaikan permukaan air laut (Kementerian LHK, 2022). Dampaknya, pulau-pulai kecil di Indonesia terancam tenggelam.  

Hal-hal di atas merupakan akibat krisis iklim yang bermuara dari meningkatnya emisi karbon, khususnya di daerah pesisir. Emisi tersebut umumnya bersumber dari operasional PLTU, pelabuhan, hingga kebakaran gambut. Bahkan, pantauan citra satelit IQAir menunjukkan mayoritas daerah pesisir Indonesia memiliki tingkat polusi udara sedang.

Sebagai ekosistem lahan basah, kawasan pesisir memiliki potensi besar sebagai solusi perubahan iklim berbasis alam (nature-based climate solution, NbCS). Namun, langkah prioritas pemerintah saat ini melalui target rehabilitasi 638 ribu ha lahan mangrove yang cenderung monospesies berisiko terhadap biodiversitas daerah pesisir (Murdiyarso dkk., 2022). Selain itu, mangrove juga terbatas dalam memfasilitasi energi hijau berbasis biomassa karena penggunaannya yang tumpang tindih dengan pemulihan tutupan lahan. Maka, diperlukan solusi komplementer untuk mencegah krisis iklim di daerah pesisir.

Biorefinery Mikroalga

Gambar 1. Skema adaptasi biorefinery mikroalga. Sumber: Penulis.Salah satu alternatif NbCS selain mangrove adalah mikroalga. Dengan habitat utama di lingkungan air dan iklim tropis, ketersediaan mikroalga di Indonesia cenderung melimpah. Oleh karena itu, ia memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi hayati (biofuel) dan NbCs.

Baca juga : Literasi Digital Kominfo: Konten Menarik Bisa Jadi Lahan Cuan

Mikroalga diolah melalui melalui fasilitas yang disebut sebagai biorefinery. Prinsip kerjanya sepadan dengan kilang minyak, namun berfokus pada pengolahan bahan baku hayati (biomassa) menjadi biodiesel dan bioetanol. Selain itu, biorefinery mikroalga juga jauh lebih ramah lingkungan karena dalam prosesnya mampu menyerap emisi karbon alih-alih menghasilkan. 

Proses adaptasi biorefinery diawali oleh pengambilan (isolasi) dari air di wilayah pesisir (Purnamasari, 2020). Dibanding ekosistem sungai, air di wilayah pesisir cenderung lebih tidak tercemar sehingga meminimalisasi kemungkinan kontaminasi masif dengan jamur atau bakteri. Maka, proses pemisahan mikroalga dengan kandungan lain dalam air laut dapat dilakukan dengan penyaringan (filtrasi) atau mesin pemutar (sentrifugasi) sederhana. Selain itu, hal ini pulalah yang membuat ekosistem pesisir menjadi habitat bagi berbagai jenis mikroalga terbaik, seperti Chlorella vulgaris, dengan kandungan lipid terbanyak yang akan diekstrak menjadi biofuel.

Selanjutnya, mikroalga dikembangbiakkan (kultivasi) dalam kolam terbuka untuk mendukung produksi biomassa skala besar. Meskipun begitu, kolam mikroalga tidak membutuhkan lahan yang luas karena perkembangbiakannya bersifat eksponensial —setiap sel mampu berkembang menjadi 10.000 dalam waktu satu hari (Purnamasari, 2020). Sistem open pond ini juga menjadi metode paling umum karena cenderung tidak memerlukan kemampuan atau bahan khusus dalam mengelolanya. Di sisi lain, intensitas paparan sinar matahari Indonesia sebagai negara tropis juga menguntungkan bagi mikroalga untuk berkembang biak.

Tahap kultivasi inilah yang menjadi bagian terpenting dalam aspek lingkungan pada proses adaptasi biorefinery mikroalga. Ketika berkembang biak, mikroalga melakukan fotosintesis yang melibatkan penyerapan CO2 dan pelepasan O2 secara masif, khususnya pada metode open pond. Proses fotosintesis mikroalga serupa dengan pohon sehingga kultivasinya sepadan dengan reboisasi hutan (Sehabudin, 2011). Aspek inilah yang membuat proses adaptasi biorefinary mikroalga dapat disebut sebagai solusi perubahan iklim berbasis alam.

Mikroalga dalam 600 liter air diketahui setara dengan lapangan rumput seluas 200 m(Vojvodić, 2023). Artinya, kolam mikroalga berukuran kecil dengan volume 3600 liter saja (12 m2 x 30 cm) dapat menghemat penggunaan lahan hingga 100 kali lipat (1.200 m2). Dengan demikian, proses adaptasi biorefinary mikroalga tidak memakan lahan dan cocok untuk diterapkan, bahkan di wilayah pesisir perkotaan.

Baca juga : Silmy Karim Usulkan Tunjangan Khusus Untuk Petugas Imigrasi Di Wilayah 3T

Dengan durasi rata-rata 21 hari sejak proses kultivasi, mikroalga sudah dapat dipanen sebagai biomassa. Pada tahap ini, biorefinary berperan sebagai "kilang minyak" untuk memproduksi biofuel dengan mengekstrak kandungan lemak (lipid) menjadi biodiesel atau bioetanol. Biofuel inilah yang menjadi energi hijau dan dapat digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan sehari-hari, seperti BBM pengganti bensin, generator listrik, hingga penggerak mesin.

Kesimpulan 

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, biorefinary mikroalga menjadi solusi sapu jagat untuk mengadaptasi sumber energi hijau dari biomassa dan mencegah krisis iklim di wilayah pesisir. Proses kultivasi yang melibatkan fotosintesis menjadi poin utama bagaimana mikroalga dapat mewujudkan solusi berbasis alam yang berkelanjutan. Hal ini didukung oleh kondisi bentang alam Indonesia, mulai dari topografi hingga iklim, yang menjadi benang merah keuntungan geografis dalam memasifkan solusi ini. Selain itu, penerapan biorefinary mikroalga juga efisien secara ekonomis. Bahan baku yang dapat diisolasi dari air laut, penggunaan alat sederhana, durasi kultivasi yang cenderung singkat, penggunaan lahan yang tidak luas, hingga manfaat yang bersifat segera membuat biorefinary mikroalga menjadi solusi aplikatif bagi masyarakat di wilayah pesisir.

Daftar Pustaka

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022.

Baca juga : Lagi, SKK Migas dan KKKS Bantu Pemasangan Listrik Wilayah Terpencil

Murdiyarso, D., Nurhati, I.S., Ambo-Rappe, R., Jompa, J. (2022). Rehabilitasi Kawasan Pesisir untuk Pembangunan Rendah Karbon. Center for International Forestry Research (CIFOR).

Purnamasari, D. (2020). Isolasi Dan Kultivasi Mikroalga Untuk Pengolahan Limbah Dari Sungai Cisadane Tangerang.

Sehabudin, S. (2011). Penambatan karbon dioksida dan pengaruh densitas alga air tawar (Chlorella Sp) pengurangan emisi karbon Dioksida. 

Vojvodić, S., Dimitrijević, M., Žižić, M., Dučić, T., Aquilanti, G., Stanić, M., ... & Spasojević, I. (2023). A three-step process of manganese acquisition and storage in the microalga Chlorella sorokiniana. Journal of experimental botany, 74(3), 1107-1122. 

Leonardo
Leonardo
Mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.