Dark/Light Mode

Dianggap Bisa Memiskinkan

Buruh Menolak Skema Upah Per Jam dan Siap Turun Ke Jalan

Senin, 30 Desember 2019 05:50 WIB
Puluhan pekerja tuntut kenaikan gaji
Puluhan pekerja tuntut kenaikan gaji

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah tengah mengkaji rencana pengupahan baru berbasis produktivitas. Sistem pengupahan tidak lagi hitungan bulan namun diubah menjadi per jam.

Sementara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak adanya sistem upah perjam. KSPI mengancam ribuan buruh akan kembali turun ke jalan pada Januari 2020 menolak kebijakan tersebut.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, sistem pengupahan per jam akan semakin memicu investasi masuk ke Tanah Air.Sistem pengupahan tersebut dianggap akan meningkatkan produktivitas industri. 

“Dengan perubahan ini, iklim usaha dan investasi Indonesia akan terdongkrak naik secara signifikan tanpa mengorbankan kompensasi yang adil terhadap pekerja ataupun penciptaan lapangan kerja baru,” katanya. 

Menurut Shinta, sistem pengupahan yang dianut Indonesia untuk para pekerja formal menggunakan skema upah minimum dan penetapan upah sebulan berdasarkan satuan hasil membuat biaya tenaga kerja di Indonesia sebagai salah satu yang termahal di kawasan ASEAN.Padahal, level kompetensi, baik skill dan pendidikan tenaga kerjanya relatif rendah. 

Baca juga : Memperihatinkan, Banyak Induk Olahraga Belum Taat Aturan Soal Laporan Keuangan

Shinta menegaskan, dengan pengupahan yang baru, maka kapan pun perusahaan memerlukan tenaga kerja tambahan untuk mengejar permintaan pasar bisa dengan mudah membuka lapangan. 

Selain itu, bisa memberikan kompensasi yang adil bagi semua pekerja yang berkontribusi pada proses produksi tersebut.“Ini adalah faktor pendukung daya tarik investasi nasional yang sangat signifikan bagi investor, khususnya di era industri 4.0, karena pekerja dituntut untuk beradaptasi dengan teknologi,” tuturnya. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal khawatir upah minimum akan hilang jika terjadi perubahan sistem upah menjadi per jam, karena dapat menyebabkan pengurangan upah yang merugikan para pekerja. 

“Berapa jam sih buruh dapat bekerja dalam seminggu itu tidak dijelaskan dalam Omnibus Law, sehingga upah minimum akan tereduksi dengan sendirinya. Maka kenapa upah kerja per jam kita tolak karena tidak mau upah minimum itu dihilangkan,” katanya. 

Menurut Iqbal, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) dan Undang Undang No 13 tahun 2003. 

Baca juga : Erick Targetkan Pelabuhan Benoa Jadi Kawasan Turis Terpadu Kelas Dunia

Iqbal mengatakan, penerapan sistem upah per jam dapat membuat buruh menerima upah bulanan di bawah nilai upah minimum. “Upah minimum adalah jaringan pengamanan agar orang yang bekerja baik disebut buruh, karyawan, pegawai atau siapapun yang menerima upah, tidak absolut miskin, itulah keluar namanya standard living cost,” jelasnya. 

Dengan upah minimum, jika pekerja tidak bekerja karena cuti atau sakit, maka dia tetap menerima upah sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi.Selain itu, skema upah per jam juga tidak jelas diterapkan di sektor apa saja, sehingga menimbulkan kerancuan. 

“Upah per jam itu tidak jelas ingin menyasar sektor apa, apakah orang yang bekerja misalkan sopir ojek online berani nggak dihitung per jamnya berapa? Bagaimana cara menghitung jam dalam hubungan kerja misalnya seorang driver ojek online pukul 07.00 WIB pagi dia keluar dan pukul 24.00 WIB malam dia pulang selesai bekerja, maka berapa jam dihitung?,” ujarnya. 

Iqbal mengancam ribuan buruh akan kembali turun ke jalan pada Januari 2020 menolak kebijakan tersebut. 

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menuturkan, sistem tersebut akan disukai oleh para pekerja dan pengusaha yang produktif. 

Baca juga : Dianggap Bagian Dari China, Taiwan Stop Jual Huawei

“Karena sistem ini akan lebih menghargai produktivitas pekerja karena dihitung berdasarkan jam kerja. Kalau jam kerjanya kurang upahnya juga berkurang,” ujarnya. 

Piter meminta pemerintah untuk dapat memastikan sekaligus menengahi tarik menarik kepentingan antara pengusaha dan pekerja terkait sistem upah. 

“Pemerintah tidak boleh berada di satu pihak. Yang harus dikedepankan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas sekaligus kesejahteraan buruh. Hanya dengan cara itu maka kedua pihak bisa sepakat,” tegasnya. 

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah sebelumnya mengatakan, skema upah per jam untuk mendukung fleksibilitas dalam bekerja.“Dalam konteks waktu kerja, fleksibilitas banyak dibutuhkan,” katanya. 

Ida menegaskan, ketentuan upah per jam akan berlaku bagi pekerja dengan jam kerja 35 jam per minggu. Namun, bagi pekerja dengan jam kerja 40 jam per minggu ketentuan peng upahan berlaku seperti biasanya.  [KPJ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.