Dark/Light Mode

Lithium: Hidden Gem Dari Energi Panas Bumi Di Indonesia

Senin, 24 Mei 2021 09:31 WIB
Aditya Yuda Kencana, Institut Teknologi Bandung (ITB). (Foto: Istimewa)
Aditya Yuda Kencana, Institut Teknologi Bandung (ITB). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Aditya Yuda Kencana, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Karya ini menjadi Pemenang 1, dalam Kompetisi Penulisan Artikel Energi Baru Terbarukan, Piala Menteri ESDM RI 2021.

Baterai lithium merupakan kunci bagi pemerintah untuk desentralisasi energi baik pada sektor pengembangan energi terbarukan maupun kendaraan listrik. Pertanyaannya, apakah Indonesia memiliki sumber dayanya?

Energi fosil masih menjadi sumber energi utama bagi kebutuhan manusia saat ini. Namun penggunaan energi fosil terus-menerus menyebabkan cadangannya semakin berkurang. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menyebutkan bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia bisa habis dalam waktu sembilan tahun (Tempo, 2020). Penggunaan berkelanjutan dari energi fosil telah menyebabkan peningkatan emisi karbondioksida (CO2) di atmosfer.

Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), pada tahun 2018 total emisi CO2 yang dihasilkan yaitu sebesar 33.513,3 juta metrik ton (Mt), dengan 25% diantaranya berasal dari sektor transportasi.

Semakin berkurangnya sumber daya minyak serta meningkatnya emisi karbondioksida, masyarakat dunia diharuskan untuk beralih dari ketergantungan terhadap energi fosil menuju pemanfaatan energi terbarukan. Salah satu diantaranya adalah perubahan skema sektor transportasi dari berbasis energi fosil menuju energi listrik.

Narasi mengenai kendaraan listrik sudah dimulai sejak tahun 1970-an akibat adanya krisis minyak pertama di California (Ajanovic, 2015). Akan tetapi, perkembangan dari kendaraan listrik yang cepat dan eksponensial terjadi sejak tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik jumlah kendaraan listrik dunia sejak tahun 2010 hingga 2019 pada Gambar 1.

Berdasarkan Sustainable Development Scenario (SDS), yang sejalan dengan Paris Agreement, pada tahun 2030 dicanangkan akan ada 245 juta kendaraan listrik atau sekitar 30 kali lipat dari jumlah kendaraan listrik pada tahun 2019 (IEA, 2020).

Rencana tersebut sejalan dengan Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat industri kendaraan listrik dunia (Kompas, 2019).

Baca juga : Pemerintah Lirik Hidrogen Sebagai Energi Terbarukan

Sementara itu, Muhammad Ikhsan Asaad, Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT. PLN (Persero) mengatakan bahwa sekitar 40 – 50% komponen kendaraan listrik ada pada baterai. Berkaitan dengan hal tersebut, IEA menyebutkan bahwa hingga tahun 2030, baterai lithium akan mendominasi pasar kendaraan listrik di dunia. Sehingga eksplorasi dan ekstraksi lithium perlu dijadikan agenda pemerintah guna mendukung hal tersebut.

Lithium (Li) merupakan logam yang paling elektronegatif dan memiliki konduktivitas listrik yang sangat baik. Lithium merupakan logam yang penting, karena bersama dengan nikel (Ni) dan kobalt (Co) merupakan bahan utama dalam pembuatan baterai, khususnya untuk kendaraan listrik. Pada awal tahun 2019, pabrik baterai kendaraan listrik telah dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah. Sehingga sumber Ni, Co dan terutama Li perlu ditemukan di Indonesia.

Sejumlah kecil lithium ditemukan dalam fluida panas bumi di beberapa daerah. Reservoir panas bumi di lapangan Salton Sea, California Selatan adalah contoh paling terkenal dari keberadaan endapan lithium dari fluida panas bumi. Konsentrasi lithium di beberapa lapangan panas bumi termasuk Reykjanes, Iceland; Wairakei, New Zealand; Cesano, Italia; Alsace, Prancis; Kyushu, Jepang; dan Salton Sea, AS, dalam kisaran 12 hingga 350 ppm (Garrett, 2004).

Indonesia yang terletak pada zona ring of fire, memiliki potensi panas bumi yang besar yaitu sekitar 26 GW atau 40% dari total potensi panas bumi dunia (PSDMBP, 2017). Selain pemanfaatannya untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang saat ini telah membangkitkan sekitar 2.130 MW, fluida panas bumi juga mengandung lithium yang berpotensi untuk diekstraksi.

Sebagai contoh meskipun bukan di Indonesia, fluida panas bumi dari PLTP Bruschal, Jerman mengandung lithium sekitar 200 mg/L yang kemudian dapat diekstraksi hingga 70%-nya (Thomas Koelbel, komunikasi tertulis, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi tersembunyi yang cukup besar dari energi panas bumi, selain untuk pembangkit listrik. Riset mengenai potensi lithium dari fluida panas bumi memang belum banyak dilakukan di Indonesia, akan tetapi beberapa peneliti satu suara bahwa Indonesia memiliki potensi lithium dari fluida panas bumi yang tinggi.

Berdasarkan riset yang penulis lakukan (terpublikasi dalam Herdianita dkk., 2019), kandungan lithium pada sistem panas bumi yang sudah dieksploitasi di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 70 mg/L. Sementara itu, pada lapangan yang belum dieksploitasi (greenfield), kandungan lithiumnya dapat mencapai 10 – 25 mg/L. Gambar 2 dan 3 menunjukkan kandungan lithium di beberapa lapangan panas bumi di Indonesia.

Lapangan panas bumi Dieng yang terletak di Jawa Tengah memiliki kandungan lithium sekitar 68 mg/L pada fluida panas buminya (Herdianita dkk., 2019). Sementara riset terbaru dari Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (PSDMBP) pada tahun 2019 menyebutkan bahwa kandungan lithium dari sumur panas bumi di Dieng mencapai 99 mg/L. Di antara lapangan panas bumi lain di Indonesia, lapangan Dieng memiliki kandungan lithium tertinggi. Hal ini dikarenakan sistem panas bumi yang hadir merupakan sistem dominasi air. Selama proses produksi fluida menjadi energi listrik di PLTP, lithium menjadi terkonsentrasi karena sirkulasi air yang cenderung tertutup pada sistem panas bumi Dieng.

Lain halnya dengan lapangan panas bumi Kamojang dan Darajat yang memiliki kandungan lithium kurang dari 2 mg/L. Kondisi tersebut disebabkan karena kedua lapangan tersebut merupakan sistem dominasi uap, mengingat lithium merupakan unsur yang terlarut dalam air, sehingga kandungan lithium di kedua lapangan tersebut akan kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa lapangan dominasi air cenderung akan memiliki kandungan lithium terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapangan dominasi uap.

Pada lapangan panas bumi yang belum dieksploitasi, terdapat beberapa lapangan yang menunjukkan anomali kandungan lithiumnya meskipun tidak setinggi pada sistem yang sudah dieksploitasi. Hal tersebut dikarenakan data yang penulis sajikan pada lapangan greenfields berasal dari mata air panas di permukaan yang sudah mengalami proses pengenceran dengan air tanah, sehingga konsentrasinya akan lebih kecil. Secara umum, kandungan lithium yang tinggi berasosisasi dengan tipe mata air berupa air klorida, seperti di Geurodong, Tampomas, dan Subang. Selain itu, sistem dengan reservoir batuan sedimen juga akan memiliki kandungan lithium yang tinggi, seperti di Bittuang dan Tampomas.

Baca juga : Lawan Israel, Ini Permintaan Palestina Ke Indonesia

Akan tetapi, jika dibandingkan dengan beberapa lapangan panas bumi di dunia, kandungan lithium pada sistem panas bumi di Indonesia memang lebih kecil. Lapangan panas bumi Upper Rhine Graben (ORG) di Jerman misalnya, kandungan lithium di lapangan tersebut dapat mencapai 200 mg/L (Thomas Koelbel, komunikasi tertulis, 2021). Faktor yang mempengaruhi hal tersebut, selain aktualitas data dan riset, juga dipengaruhi oleh kondisi geologi suatu lapangan panas bumi. Anomali kandungan lithium dapat disebabkan oleh tipe sistem panas bumi, tipe fluida reservoir, dan tipe batuan reservoir. Sehingga pada dasarnya masih banyak ruang untuk riset dan mengungkap potensi lithium dari energi panas bumi di Indonesia.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, saat ini kebutuhan akan lithium berkembang pesat terutama untuk kendaraan listrik. Oleh karena itu, lithium dari fluida panas bumi di Indonesia merupakan potensi yang sangat menjanjikan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengekstrak lithium terlarut dalam fluida panas bumi hingga menjadi padatan lithium?

Ekstraksi lithium dari fluida panas bumi telah mendapatkan perhatian cukup serius dan banyak perusahaan yang menjajaki opsi tersebut di wilayah yang diketahui memiliki potensi lithium yang tinggi. Aspek teknis untuk mengekstraksi lithium dari fluida panas bumi masih banyak diteliti. Salah satu teknik yang sudah diterapkan dinamakan Direct Lithium Extraction atau DLE. Pada dasarnya, teknik tersebut menggunakan sistem pertukaran ion yang bertindak sebagai saringan kimiawi untuk secara selektif hanya mengumpulkan lithium klorida. Lithium klorida kemudian dimurnikan dan dipekatkan untuk menghasilkan lithium hidroksida, yang kemudian digunakan untuk baterai (Early, 2020).

Dengan harga sekitar $12.000 per ton (Early, 2020), jelas nilai industri lithium luar biasa. Selain berdampak ekonomis, produksi lithium dari fluida panas bumi juga dapat memberikan dorongan untuk pengembangan energi panas bumi, khususnya di Indonesia yang digadang-gadang memiliki 40% dari total panas bumi dunia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perusahaan panas bumi merencanakan proyek yang menggabungkan pembangkit listrik dan produksi lithium secara bersamaan (misalnya di PLTP Bruchsal, Jerman).

Dalam rangka mendukung atmosfer kendaraan listrik yang akan menjadi trend di masa depan, potensi lithium dari fluida panas bumi di Indonesia cukup menjanjikan. Selain itu, produksi lithium dari fluida panas bumi juga akan meningkatkan nilai tambah energi panas bumi selain untuk energi listrik. Meskipun hal tersebut terdengar cukup sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Perlu adanya dukungan dari pemerintah, industri, dan akademik agar Indonesia dapat menjadi pusat kendaraan listrik dan baterai lithium di dunia. (*)

REFERENSI

- Ajanovic, A. (2015): The Future of Electric Vehicles: Prospects and Impediments, Wiley Interdisciplin Reviews (WIREs) Energy & Environment, 4(6), 521–536.

-Early, C. (2020): What is Geothermal Lithium and Why It Can Revolutionize Clean Energy, https://www.bbc.com, 10 April 2021.

-Garrett, D.E. (2004): Handbook of Lithium and Natural Calcium Chloride, their deposits, processing, uses, and properties. Elsevier Academic Press, 476.

Baca juga : Di Tengah Pandemi, Ekonomi Indonesia Mulai Tumbuh

-Herdianita, N. R., Sucipta, I. G. B. E., Kencana, A. Y. (2019): Lithium in Brine Waters from The Indonesian Geothermal Systems: Could It Meet The National Needs of Making Lithium Batteries?, Proceedings, Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2019, Jakarta, Indonesia.

-IEA (2020), Global EV Outlook 2020, IEA, Paris, https://www.iea.org/reports/global-ev-outlook-2020.

-Kompas. (2019): Cita-cita Jokowi: Jadikan Indonesia Pusat Industri Mobil Listrik Dunia, https://money.kompas.com, 10 April 2021.

-PSDMBP (Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi). (2017): Potensi Panas Bumi Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral EBTKE.

-PSDMBP (Pusat Sumber Daya Mienral, Batubara, dan Panas Bumi). (2019): Potensi dan Keterdapatan Lithium di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral EBTKE.

-Tempo. (2020): Menteri ESDM: Cadangan Minyak Bumi di Indonesia Hanya Cukup untuk 9 Tahun, https://bisnis.tempo.co, 21 April 2021.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.