Dark/Light Mode

Utang Tembus Rp 6.554,56 Triliun

Penjualan SBN Dianggap Lebih Berisiko

Selasa, 27 Juli 2021 07:00 WIB
Ilustrasi rupiah. (Foto : Shutterstock).
Ilustrasi rupiah. (Foto : Shutterstock).

RM.id  Rakyat Merdeka - Direktur Center of Eco­nomic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingat­kan risiko peningkatan utang dari penjualan Surat Berharga Negara (SBN).

Bhima menilai, utang pemerintah dari penjualan SBN bunganya lebih mahal ketim­bang pinjaman luar negeri.

“Misalnya, pinjam ke lembaga seperti Bank Dunia, bunganya bisa 2 persen hingga 3 persen per tahun. Sedangkan SBN dengan tenor 10 tahun bunganya di atas 6 persen,” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut dia, kepemilikan SBN saat ini didominasi inves­tor asing, sehingga berisiko terhadap stabilitas keuangan. Pasalnya, jika investor melepas kepemilikan SBN secara signifi­kan, bisa menyebabkan krisis finansial yang berakibat pada melemahnya nilai tukar rupiah.

Terkait pemanfaatan utang, kata Bhima, pemerintah seper­tinya harus lebih transparan ke masyarakat soal dua hal.

Baca juga : Perlahan Tapi Pasti, Perekonomian Bangkit

Pertama, publik berhak meragukan kenaikan utang hanya untuk selamatkan ekonomi. Karena, jika melihat data be­lanja Pemerintah Pusat, bahkan sebelum pandemi Covid-19, pos belanja yang naiknya paling tinggi justru belanja pemba­yaran bunga utang. Dari tahun 2014 sampai 2021 naiknya 180 persen.

“Ada pembayaran bunga utang dari Rp 133 triliun di 2014 men­jadi Rp 373 triliun target di 2021. Artinya, utang pun sebagian digunakan untuk pembayaran bunga utang,” kata Bhima.

Selain itu, lanjut dia, pos belanja birokrasi, yakni belanja pegawai dan belanja barang tumbuhnya juga sangat tinggi, masing-masing 73 persen dan 105 persen di periode 2014-2021.

Kedua, apakah semua dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu pembiayaan program yang khusus spesifik saat pan­demi? Jawabannya tidak.

Bhima mengatakan, beberapa program dimasukkan dalam PEN meski program tersebut sudah ada di tahun-tahun sebe­lumnya. Contoh, soal Program Keluarga Harapan (PKH), itu program perlindungan pada warga miskin sebelum masa pandemi. Jumlah penerimanya pun tidak berubah, masih 10 juta keluarga penerima.

Baca juga : Waskita Karya Mulai Siuman Dan Lebih Sehat

“Kalau program rutin pemerintah dimasukkan dalam PEN akan terlihat angka stimulusnya tinggi sekali. Artinya, utang digunakan bukan untuk PENsaja, tapi anggaran rutin juga, sehingga bebannya jadi besar,” jelas Bhima.

Seperti diketahui, dalam buku APBN (Anggaran Pendapatan Be­lanja Negara) KiTa edisi Juli 2021, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 6.554,56 triliun.

Kementerian Keuangan men­catat, angka utang tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerin­tah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Ada pun komposisi utang tersebut, terdiri dari pinjaman Rp 842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14 persen).

Utang melalui pinjaman terse­but berasal dari pinjaman dalam negeri Rp 12,52 triliun. Sedang­kan utang luar negeri sebesar Rp 830,24 triliun.

Baca juga : China Terusik Pengadilan Kasus Uighur Di Inggris

Sedangkan, rincian utang dari SBN berasal dari pasar domestik sebesar Rp 4.430,87 triliun dan valas Rp 1.280,92 triliun.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, tambahan utang sangat diperlu­kan untuk menutup defisit yang semakin membengkak karena besarnya pengeluaran pemerin­tah saat pandemi Covid-19.

Menurut Sri Mulyani, menye­lamatkan nyawa manusia tak bisa ditawar, sehingga pemerintah harus jor-joran menyediakan ang­garan untuk penanganan kesehatan sesuai kebutuhan. [NOV]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.