Dark/Light Mode

JK: Harus Dilawan, Diskriminasi Perlakuan CPO Di Balik Isu SDGs

Sabtu, 27 April 2019 18:51 WIB
Wapres JK menyampaikan pendapat dalam Sesi 3 Leaders Roundtable Belt and Road Forum (BRF II) di Ji Xian Hall, International Convention Center (ICC), Beijing, Sabtu (27/4). (Foto: Istimewa)
Wapres JK menyampaikan pendapat dalam Sesi 3 Leaders Roundtable Belt and Road Forum (BRF II) di Ji Xian Hall, International Convention Center (ICC), Beijing, Sabtu (27/4). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia adalah salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Lebih dari 16 juta warganya, terlibat dalam perkebunan dan industri sawit. Namun, amat disayangkan sektor ini terus menghadapi perlakuan diskriminatif dari sejumlah negara. Terutama, negara-negara Eropa.

Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), dalam Sesi 3 Leaders' Roundtable Belt and Road Forum (BRF II), yang bertajuk "Promoting Green and Sustainable Development To Implement The UN 2030 Agenda' di Ji Xian Hall, International Convention Center (ICC), Beijing, Sabtu (27/4).

"Perlakuan diskriminatif ini diterapkan dengan mengatasnamakan isu keberlanjutan (sustainable palm oil)," ujar JK. Dijelaskan, sawit memiliki kontribusi signifikan dalam pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals) atau tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Baca juga : Hari Kartini, Pegawai SPBU Pertamina Pakai Baju Adat

"Sejak lama, isu sustainability ini telah menjadi perhatian dari negara produsen, yang diperkuat dengan dukungan data," papar JK.

Sayangnya, semua data tersebut tidak didengarkan. "Diskriminasi terus dijalankan. Ini tentunya akan berpengaruh terhadap pencapaian SDGs Indonesia. Oleh karena itu, diskriminasi ini harus dilawan," tegas JK.

Masukan Indonesia Pada BRF II

Baca juga : Darmin Melawan Diskriminasi Sawit

JK mengatakan, untuk mencapai SDGs, tidak ada satu pun negara yang dapat melakukannya sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dan kerja sama seperti pentingnya ownership dalam setiap kerja sama.

"Kerja sama ini harus bersifat national-driven bukan donor atau loan-giver driven," sarannya. Selain itu, kerja sama juga harus mempertimbangkan isu inklusivitas. "Dengan inklusivitas, kerja sama Belt and Road seharusnya dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal semaksimal mungkin. Angka pengangguran dapat ditekan. Bukan justru meningkat," tutur JK.

Tak kalah penting, partisipasi dan kemanfaatan dari kerja sama BRI harus dapat dirasakan oleh semua. Peran swasta pun harus terus didorong dalam kerja sama BRI. "Dengan demikian, proyek kerja sama tidak terlalu mengandalkan pada hutang pemerintah," papar JK.

Baca juga : Indonesia Protes Kebijakan Diskriminasi Sawit Uni Eropa di Brussel

Selanjutnya, faktor lingkungan perlu terus dipertimbangkan dalam SDGs. "Karena isu memelihara lingkungan merupakan bagian integral dari pencapaian SDGs," tandas JK.

Selain itu, dalam meningkatkan kerja sama dalam pemenuhan SDGs, diperlukan kepemimpinan kolektif dan shared responsibilities. JK berpendapat, "me-first policy" tidak dapat diterapkan, jika kita ingin cita-cita SDGs terpenuhi.

"Di situlah, prinsip-prinsip multilateralisme diperlukan. Dunia akan melihat dan mencatat, apakah janji kerja sama Belt and Road ini benar akan membawa keuntungan bagi semua," pungkas JK. [HES]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.