Dark/Light Mode

Kesaksian Djamaluddin Tamim untuk SIBAR

Senin, 23 Oktober 2023 11:30 WIB
Penulis bersama kemenakan Djamaluddin Tamim di rumah kelahirannya di Koto Gadang.
Penulis bersama kemenakan Djamaluddin Tamim di rumah kelahirannya di Koto Gadang.

Menelisik Jejak Datuk Batuah dan Djamaluddin Tamim

Kedua hunian di Nagari Koto Laweh dan Koto Gadang, punya kesan tersendiri dalam lembaran masa lalu. Menjadi awal dari sesuatu dalam dunia pergerakan di Sumatra Barat. Dari kedua rumah ini lahir beragam artikel, diantaranya  Menuju Lentera Merah & Gejolak Sosial di Sumatra Barat.

Dari kedua bangunan ini, pernah berdiam dua tokoh Kuminih, yang dulunya menyatu, kemudian terpisah karena pilihan politik. Keduanya pernah bersama dalam Pemandangan Islam.

Ulama berkumis tebal, bertubuh tambun, dan kerap memakai tunik ala Stalin itu lah pemilik surat kabar itu. Schrieke (1928), Benda (1960), Kahin (2005), Zed (2010), Sufyan (2017, 2021) menggoreskan namanya, Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.

Lelaki lainnya bertubuh jangkung, terpaut usia tiga tahun saja, kelahiran Koto Gadang, kemudian menjadi hoofdredacteur Pemandangan Islam. Keduanya terpisah, ketika sang ideolog Kuminih ditangkap veldpolitie dan hoofddjaksa Padang Panjang.

Ia segera digelandang ke penjara Padang Panjang, kemudian dihadapkan pada Residen Whitlaw. Si haji merah segera dibuang ke Kefamenanu, dan kawannya yang lain Natar Zainuddin di buang ke Kalabahi Nusa Tenggara.

Dan, Djamaluddin memilih Tan Malaka, kawan sepermainan sepakbolanya semasa di Padang Panjang. Ia termasuk dalam barisan kontra pertemuan Prambanan 1925. Bung Djamal, Soebakat pun menjadi bagian dari benang merah hadirnya PARI & MOERBA di luar Indonesia.

Baca juga : Sisakan Sedikit Untuk Rakyat

Haji Datuk Batuah berbeda nasib, pasca kekalahan revolusi prematur 1926 & 1927. Setelah melewati pembuangan di Nusa Tenggara, ia diinternir ke Tanah Merah, Digoel – Papua. Karena masih terus membangkang, dan tidak mau bekerjasama,  ia dipindahkan ke Tanah Tinggi.

Barangkali Digoel yang menyatukan kembali keduanya. Tepatnya di Kampung B Dan, kembali bersama di Cowra Australia. Bung Djamal pun menjadi sponsor Komite Indonesia Merdeka (KIM).

Kesaksian untuk SIBAR

Ketika fasisme Dai Nippon  membombardir wilayah Hindia Timur, tentara Belanda sudah keteteran. Van der Plas masa itu tidak punya pilihan lain, selain memindahkan interniran Digoel itu ke Australia. Dan,  Djamaluddin Tamim punya catatan penting mengenai proses pemindahan dan organ Sibar.

Tepat pada tanggal 9 Maret 1943, Van Der Plas bertolak dari Australia mendarat  dengan (pesawat) Dakota di pelabuhan Tanah Merah. Tujuan kedatangannya adalah memberitahukan kepada penduduk pembuangan (interniran Digul), supaya bersiap-siap untuk dipindahkan ke Australia.

Serbuan Jepang yang terus merangsek masuk ke Papua, telah membuat Belanda ketar-ketir. Pada 9 Maret 1943 itu Djamaluddin Tamim, bersama Muhammad Ali dari Banten mendapat panggilan yang pertama untuk berhadapan langsung dengan Van der Plas. yang diikuti oleh wedana Moh. Soenger. Soenger merupakan wedana Tanah Merah yang berasal dari Sumedang Jawa Barat.

Menananggapi permintaan Van der Plas, Djamaluddin Tamim dan Muhammad Ali menolak keras. Djamaluddin tetap bersikukuh, sesuai dengan permintaan 35 orang anggota PARI yang pernah dilayangkan ke Soenger, bahwa mereka tidak bersedia dipindahkan ke Australia, tetapi ke Merauke.

Baca juga : Rafael Alun Beli Tanah Untuk Kado Ultah Istri

Setelah Djamaluddin dan Ali, berturut-turut dipanggil Soedjono (pimpinan PKI 1924 sampai 1926), Haji Jalaluddin Thaib (pengurus PERMI), Burhanuddin (Pendidikan Nasional Indonesia) - tangan kanannya Hatta, Sjahrir, dan Woworuntu, yang baru saja kembali dari Moskow pada Maret 1928.

Masing-masing empat tokoh pergerakan itu, seperti ada gelagat aneh – tegas Djamaluddin. Mereka tampak berbisik-bisik agak lama, dan beberapa kali melakukan perundingan istimewa di kediaman controleur. Mereka berunding dengan wedana Soenger, controleur,  dan Van der Plass

Realisasi pembicaraan empat orang tadi dengan petinggi Belanda, tersiar ketika membentuk organ baru. Pertama, Pemerintah Hindia Belanda pelarian di Australia, yang dikepalai oleh   Van Mook  dan Van Der Plas bersama kompatriot Soedjono, Djalaluddin Thaib, dan Burhanuddin membentuk Serikat Indonesia baru yang disingkat SIBAR.

Keberadaan dari organ ini, menjadi tanda tanya besar bagi Djamaluddin – terutama pasca Indonesia merdeka. Mereka menolak atau tidak mengakui Republik Indonesia merdeka Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kedua, mereka menuduh Soekarno dan Hatta kolaborator atau penjahat perang, dan akan pulang ke Indonesia, kembali bersama-sama Van Mook dan Van Der Plas untuk mendirikan Negara Indonesia baru.Tidak seperti Hindia Belanda dulu lagi, tetapi Indonesia Belanda kerjasama yang lebih erat lagi dan sebagainya.

Bersimpang Tujuan Hingga Akhir Hayatnya

Untuk melawan Sibar, Djamaluddin Tamim membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM). Wacana yang diapungkan adalah menolak keberdaan dari Sibar. Djamaluddin tidak bergeming sedikit pun, meskipun PKI Muda yang dibentuk Muso dan Alimin telah berkolaborasi dengan Sibar.

Baca juga : Kekeringan Ancaman Nyata

Djamaluddin tetap berada di KIM. Sampai pemerintah Australia memulangkan kembali eksterniran Cowra dan Sidney. Rombongan terakhir kapal Manoura yang bertolak dari Australia menuju Tanjung Priok, membawa rombongan terakhir umlah 2000 orang itu adalah interniran Digoel, yang tidak berafiliasi pada SIBAR bentukan Van Mook dan Van der Plas.

Meskipun Haji Datuk Batuah, dan Djamaluddin telah kembali ke Tanah Air tahun 1946, namun nasib, kembali memisahkan mereka. Djamaluddin tetap di MOERBA. Haji Datuk Batuah segera menjadi leader PKI Cabang Sumatra Barat.

Si ulama merah jelang akhir hayatnya, diangkat menjadi anggota KNIP. Berbeda dengan Djamaluddin setibanya di Jakarta, segera dijemput untuk berjumpa dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir Djamaluddin ditawari jabatan dan posisi signifikan. Ia tegas menolak. Ia ingin tetap berada di luar pemerintahan, menolak fasilitas rumah, dan tetapo berjuang bersama rakyat miskin, laskar rakyat, dan pemuda revolusioner

Di akhir hayat, keduanya benar-benar terpisah. Haji Datuk Batuah mati muda, diusia 49 tahun. Jasadnya dipandam di ranah kelahirannya, tepat di belakang Kantor Wali Nagari Koto Laweh, Kabupaten Tanah Datar. Berbeda dengan Djamal yang wafat di Jakarta  di usia 70an.

 

Fikrul Hanif Sufyan
Fikrul Hanif Sufyan
Fikrul Hanif Sufyan, pemerhati, periset, dan pengajar sejarah

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.