Dark/Light Mode

Social Media Justice, Saat Penegakan Hukum Berpindah Ruang

Rabu, 17 Januari 2024 22:42 WIB
Social media justice/Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Social media justice/Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Belum lama ini, Indonesia digegerkan dengan sebuah kasus pencabulan yang dialami seorang anak berusia 5 tahun. Bagaimana tidak, pelaku diduga adalah kawan dari korban yang juga merupakan siswa Taman Kanak-kanak. Terungkap di awal November 2023, setelah korban yang memperlihatkan alat kelaminnya kepada ibunya setelah tidak mendapatkan susu cokelat, kasus ini terus bergulir tanpa mendapatkan perhatian publik.

Sebelum akhirnya menjadi viral, kasus ini terbilang cukup pelik. Orang tua korban telah berupaya untuk mendapatkan keadilan dengan berkomunikasi dengan pihak Yayasan, Dinas Pendidikan setempat, dan Kepolisian namun belum membuahkan hasil. Sampai akhirnya melalui media sosial dan berita lokal, hal ini menjadi banyak diketahui masyarakat dan akhirnya viral. Satu per satu jalan mediasi dan penegakan hukum pun mulai terbuka bagi pihak keluarga korban.

Secara umum, peran sosial media dalam struktur masyarakat menjadi sangat penting. Masyarakat lebih sering mendapatkan informasi melalui hal-hal yang viral pada berbagai platform sosial media dan kemudian menjadi isu hangat sehingga akhirnya terbahas pada surat kabar dan media online. Ingrid Rogstad dalam tulisannya pada 2016 menyampaikan bahwa media sosial memiliki kemampuan untuk menyampaikan isu-isu yang tidak terlihat oleh media massa. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Ben Wasike (2013) bahwa media sosial berperan sangat efektif sebagai News Breaker Tool, yang mampu menyajikan berita terbaru bahkan sebelum diekspos media.

Baca juga : Awal Tahun, AHM Segarkan Tampilan Honda Vario 160

Fenomena kasus yang terusut karena mendapatkan atensi publik di atas bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Indonesia masih memiliki beberapa catatan kasus lain yang diusut setelah viral di media sosial. Hal ini bahkan melahirkan sebuah ungkapan No viral No Justice yang memberi gambaran ketidakpercayaan masyarakat Indonesia terhadap keseriusan para penegak hukum di negeri ini. Hal ini merupakan tanda bahwa media sosial telah memberi ruang kepada publik untuk mengamati proses penegakan hukum, sebuah hal yang sangat sulit dilakukan sebelumnya.

Kontrol publik ini kemudian berpotensi untuk melahirkan paradoks, bagaimana fenomena ini kemudian memberikan standar ganda terhadap kasus-kasus lain yang membutuhkan penegakan hukum namun tidak menjadi viral di tengah masyarakat. Negara sendiri sebenarnya telah menjamin prinsip kesetaraan di hadapan hukum melalui Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, membedakan perlakuan kasus viral dengan kasus tidak viral sama dengan diskriminasi.  

Paradoks lain yang tercipta adalah ketika penegakan aturan yang seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum dan perundang-undangan akhirnya harus diambil alih oleh Masyarakat awam sehingga menciptakan ruang-ruang persidangan publik yang sulit untuk dikendalikan. Namun di sisi lain, Mmsyarakat mendapat contoh bahwa, seolah-olah menjadikan kasus tersebut viral adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan proses hukum yang layak.

Baca juga : OJK Perkuat Pelindungan Konsumen Di Sektor Jasa Keuangan

Pada beberapa kasus, pressure masyarakat bahkan mempengaruhi jalannya sebuah perkara, dimana makin kuat tekanan publik, jalannya proses hukum cenderung lebih cepat dikarenakan proses formal birokrasi tidak lagi diutamakan. Masyarakat kemudian menunggu hasil persidangan selayaknya sedang menunggu episode sinetron, pun saat hasil persidangan telah diketahui, muncul kecenderungan bahwa hasil tersebut seharusnya berupa keadilan substantif yang sesuai opini yang terbentuk pada Masyarakat luas. Dalam hal ini, kerentanan terjadi diakibatkan karena masyarakat yang terlanjur tergiring opini cenderung tidak lagi peduli terhadap  validitas informasi yang mereka dapatkan. Media sosial menjelma menjadi propagandis massal dan sulit untuk melacak darimana asal opini dimulai.

Tantangan yang dihadapi dengan kondisi ini adalah bagaimana menciptakan filteralisasi bagi informasi yang tersebar di media sosial, dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait hal tersebut, agar tidak tercipta penegakan hukum diruang-ruang publik, yang jika dilakukan tanpa verifikasi berpotensi menyebabkan rusaknya reputasi individu dan bahkan terciptanya ketidak adilan.

Paradoks penegakan hukum di Indonesia seharusnya tidak perlu terjadi jika aparat hukum bekerja secara optimal. Peradilan publik dimungkinkan terjadi karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum, dan sangat dimungkinkan terjadi dengan mudahnya penyebaran informasi melalui platform media sosial. Penggunaan media sosial yang bijak merupakan tanggung jawab semua pihak. Diperlukan kanal-kanal khusus yang menjadi aliran informasi valid terkait penegakan hukum sebuah kasus untuk diketahui masyarakat. Hal ini akan terus menjadi masalah sebelum ada langkah konkret yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah hal tersebut.

Miranti widya ramlah Ponulele
Miranti widya ramlah Ponulele
Ketua DPD KNPI Provinsi Sulawesi Tengah

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.