Dark/Light Mode

Workshop 4 ICJN Kerjasama FPCI-Kedubes Denmark

Perlu Tau! Soal Duit Ngurusin Perubahan Iklim...

Sabtu, 10 Juni 2023 11:30 WIB
Para Peserta Workshop 4: Green Economy, Indonesian Climate Journalist Network (ICJN), program kerja sama FPCI dan Kedubes Denmark di Jakarta, Selasa, 30 Mei 2023. [Foto: FPCI]
Para Peserta Workshop 4: Green Economy, Indonesian Climate Journalist Network (ICJN), program kerja sama FPCI dan Kedubes Denmark di Jakarta, Selasa, 30 Mei 2023. [Foto: FPCI]

RM.id  Rakyat Merdeka - Sejauh ini, masih ada sejumlah tantangan dalam memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim. Hal ini ditegaskan Senior Associate Green Finance dari Global Green Growth Institute (GGGI), Titaningtyas.

Tantangan-tantangan itu, ujarnya, mulai dari kurangnya koordinasi pendanaan perubahan iklim antar pemangku kepentingan, adanya ketimpangan informasi terkait pendanaan perubahan iklim, adanya potential trade-off dengan agenda pembangunan/sosial yang lain. “Termasuk proyek iklim masih dianggap berisiko, sehingga suku bunga tinggi,” jelas Titaningtyas.

Hal dia sampaikan saat menjadi narasumber Workshop ke-4 bertema "Green Economy", Indonesian Climate Journalist Network (ICJN), program kerja sama antara Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta, Selasa, 30 Mei 2023.

Baca juga : Perdagangan Karbon, Jurus Keniscayaan Kebijakan Iklim

Untuk diketahui, kata Titaningtyas, Ekonomi Hijau pada prinsipnya menyediakan pendekatan makro ekonomi, bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Fokus utamanya, adalah pada investasi, tenaga kerja, dan skill.

Master bidnag Manajemen Lingkungan dari University of Auckland, Selandia Baru ini pun mengingatkan, kebutuhan pendanaan iklim untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), sudah mendesak. Sayangnya, rata-rata, anggaran nasional hanya memenuhi 23,5 persen dari kebutuhan pendanaan perubahan iklim. Ini berdasarkan 2nd Biennale Updated Report.

Esther N. S. Tamara (kiri), Direktur Unit Iklim & Wakil Direktur Riset & Analisis FPCI, saat memandu Workshop ke-4 "Green Economy" dan Senior Associate Green Finance dari GGGI, Titaningtyas (kanan). [Foto: Muhammad Rusmadi/Rakyat Merdeka/RM.id]

Lebih jauh dia menjelaskan, berdasar data lanskap pendanaan iklim pada 2018-2020 misalnya, Indonesia mengalokasikan rata-rata 4,3 prsen dari total APBN, untuk kegiatan terkait iklim. Padahal berdasarkan NDC roadmap diestimasikan, Indonesia butuh Rp 343 triliun per tahun atau 27 persen dari APBN). Angka itu, hanya untuk mitigasi dalam mencapai target NDC.

Baca juga : Dampak Krisis Iklim, Serem!

Nationally Determined Contribution (NDC) atau dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional adalah dokumen yang memuat komitmen iklim sebuah negara, yang dikomunikasikan kepada dunia, melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Sementara kebutuhan pendanaan total untuk adaptasi tahun 2021-2030, diestimasikan sebesar 77,81 miliar dolar AS. Ini bertujuan demi mengurangi risiko potensi kerugian produk domestik bruto (PDB) sebesar 2,87 persen.

Demi menutup kesenjangan finansial ini, jelas Titaningtyas lagi, setidaknya perlu diatasi melalui tiga area. Pertama, pada instrumen finansial, dengan cara merancang instrumen finansial inovatif. Ini diperlukan, agar mengurangi risiko dan membantu aliran modal pada sektor terkait.

Baca juga : Dino: Soal Iklim, Denmark Nganggap Seperti Agama

Kedua, pada sektor proyek bankable, mengembangkan proyek yang dapat didanai berdasarkan penilaian NDC, dan menghubungkan dengan sumber dana yang sesuai.

Ketiga, pada moda pembiayaan nasional, perlu dirancang moda pembiayaan nasional, untuk mendukung negara dalam mengakses pembiayaan iklim.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.