Dark/Light Mode

Di Tengah Serangan Israel, Orangtua Di Gaza Berjuang Jaga Kesehatan Mental Anak

Rabu, 18 Oktober 2023 00:00 WIB
Ibu di Gaza Palestina, Sajeda Abdu, dan anak-anaknya menghibur diri dengan main games di ponsel. (Foto Mohammed Salem/Reuters)
Ibu di Gaza Palestina, Sajeda Abdu, dan anak-anaknya menghibur diri dengan main games di ponsel. (Foto Mohammed Salem/Reuters)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kesehatan mental anak-anak menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan di tengah perang antara faksi Hamas di Palestina dan Israel. Serangan demi serangan terus dilancarkan Israel ke Jalur Gaza.

Mengutip Wafa Agency, Selasa (17/10/2023), Kementerian Kesehatan Palestina bahkan menyebut jumlah korban tewas telah mencapai 2.866 orang. Korban luka bertambah hingga mencapai 12 ribu orang. Ini hanya dari pihak Palestina.

Dilaporkan pula, 64 persen warga Palestina yang tewas adalah perempuan dan anak-anak, dengan rincian 936 perempuan dan 853 anak-anak. Dari situasi ini timbul pertanyaan, bagaimana cara orangtua di Gaza menjaga kesehatan anak-anak mereka?

Tak dipungkiri, perang telah mengguncang mental anak-anak Palestina. Terutama yang tinggal di Jalur Gaza. Seorang ibu di Gaza bernama Esraa menceritakan, bagaimana perang telah berdampak pada psikologis anak-anaknya kepada Aljazeera.

Ketika serangan udara Israel kembali terjadi, Pretty Abu Ghazzah yang berusia delapan tahun berdiri kaget. Sementara adiknya yang berusia lima tahun berlari ke pelukan ibu mereka, Esraa. Adik bungsu Pretty, berusia dua tahun menangis keras.

Untuk menghindari pemboman besar-besaran di lingkungan mereka di Deir el-Balah di Jalur Gaza tengah, Esraa membawa anak-anaknya ke rumah mertuanya di daerah yang tidak terlalu menjadi sasaran. Namun ia memastikan hal itu tidak bisa menghindari dampak kesehatan mental dari penggerebekan yang dilakukan militer Israel.

Baca juga : Peduli Lingkungan, Relawan Orang Muda Ganjar Bersih-Bersih Pantai Taplau

“Saya tidak tega melihat anak-anak saya gemetar dan wajah mereka pucat karena ketakutan. Itu terlalu menyakitkan. Hari ini mereka muntah beberapa kali karena panik dan takut,” kata ibu berusia 30 tahun itu.

Hampir setengah dari 2,3 juta orang yang terjebak di Gaza, terutama anak-anak, menderita dampak mental dan emosional akibat blokade dan kekerasan selama bertahun-tahun.

Menurut studi tahun 2022 yang dilakukan lembaga nirlaba, Save the Children, empat dari lima anak di daerah kantong tersebut bergulat dengan depresi, kesedihan, dan ketakutan. Tidak hanya untuk menjaga anak-anak mereka tetap hidup, para orangtua di Gaza juga berjuang agar anak-anak mereka sehat secara mental.

Tak bisa dipungkiri, konflik kali ini menjadi serangan paling sengit yang pernah mereka hadapi selama bertahun-tahun. Setelah Israel memutus aliran listrik di Gaza pada Senin (9/10/2023), warga kini hidup dalam kegelapan. Pasokan bahan bakar yang diperlukan untuk mengoperasikan generator berkurang.

Meski akses internet terbatas, para orangtua di Gaza tetap berusaha mencari hiburan bagi anak-anak mereka di platform seperti YouTube hingga WhatsApp. Esraa mengamati reaksi anak-anaknya terhadap serangan udara dengan rasa prihatin yang semakin besar.

Selain muntah-muntah, mereka juga menderita buang air kecil yang tidak disengaja. Gejala ini menurutnya baru terjadi, menyusul ketakutan yang meningkat.

Baca juga : Wujudkan Indonesia Kian Ramah Disabilitas, Ganjar Siap Perjuangkan Kesetaraan

“Anak saya tidak pernah mengalami masalah buang air kecil yang tidak disengaja seperti ini sebelumnya,” katanya.

Dalam laporan Save the Children tahun 2022, 79 persen pengasuh di Gaza melaporkan peningkatan ngompol di kalangan anak-anak. Angka ini meningkat dari sebelumnya 53 persen, saat perang Israel-Hamas terakhir terjadi pada 2021.

Gejalanya seperti meningkatnya kesulitan dalam berbicara, bahasa dan komunikasi. Ketidakmampuan menyelesaikan tugas juga meningkat pada anak-anak di Gaza sejak 2018.

“Saya menemukan banyak video YouTube yang bermanfaat selama perang terakhir tentang cara berbicara dengan anak-anak. Penting untuk terlibat dalam percakapan dengan mereka dan mendiskusikan apa yang terjadi di sekitar mereka,” kata Esraa.

Dia menambahkan, bahwa dampak strategi tersebut masih terbatas, mengingat keadaan mengerikan yang mereka alami.

Anak-anak dari ibu bernama Rawan dari Gaza, juga sangat terpengaruh dengan suara ledakan bom. Dia memiliki tiga orang putri bernama Aysel (9), Areen (6) dan Aleen (4). Ia menila, ada peningkatan detak jantung dari putrinya yang bernama Aysel.

Baca juga : Di Tengah MK Bacakan Putusan, Mega Bicara Kesetiaan

“Aysel. Dia sekarang sudah cukup umur untuk memahami implikasi perang. Dia sudah berhenti makan dan minum. Saya juga memperhatikan peningkatan detak jantungnya,” katanya.

Ibu berusia 30-an tahun itu mengatakan, ini menjadi perang kelima yang dia alami sebagai seorang ibu. Rawan harus menerima kenyataan tiga putrinya harus berjuang menghadapi kerasnya hidup. OIeh sebab itu, ia terus meningkatkan pengetahuan untuk menjaga mental anak-anaknya selama konflik.

“Saya membuka YouTube dan artikel online untuk meningkatkan pemahaman tentang bagaimana mendukung putri saya selama masa konflik,” kata Rawan.

Untuk meredakan kecemasan mereka, Rawan mencoba melibatkan putrinya dalam permainan dan aktivitas kelompok. Pesan-pesan yang baik juga dikirim oleh guru untuk membantu para ibu mendukung kesehatan mental anak-anak mereka.

Salah satu saran tersebut adalah memantau anak-anak dengan cermat untuk mencari tanda-tanda kecemasan yang mungkin sulit mereka ungkapkan secara verbal. Dalam situasi ini, para ibu disarankan mendorong anaknya mengekspresikan diri secara kreatif, melalui tulisan cerita atau gambar sebagai pelampiasan pengolahan perasaannya. 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.