Dark/Light Mode

Petugasnya Stres Dan Takut Dibunuh

Pilpres Amerika Tak Setragis Pilpres Di Sini

Sabtu, 7 November 2020 06:35 WIB
Kerusuhan Pilpres AS. (Foto: AP)
Kerusuhan Pilpres AS. (Foto: AP)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pilpres Amerika tahun ini yang begitu sengit dan panas, dibanding-bandingin dengan Pilpres di sini yang juga begitu mencekam, setahun lalu. Yang bandingin bukan hanya publik di sini, tapi juga dilakukan oleh publik Amerika sendiri. Mulai dari kelakuan para capresnya, anarkisnya para pendukung, sampai stres dan kelelahannya para petugas penyelenggara Pilpres. Namun, seedan-edannya Pilpres di Amerika, tak setragis Pilpres di sini tahun lalu, yang merenggut nyawa 894 petugas.

Hingga kemarin, pemenang Pilpres AS belum resmi diumumkan. Perhitungan suara, baik Popular Vote maupun Electoral Vote sama­-sama belum selesai. Namun, kedua capres, baik Joe Biden dari Partai Demo­krat maupun Donald Trump dari Partai Republik, sama-­sama sudah meng­klaim kemenangan.

Bahkan, Trump sempat melempar­kan pernyataan soal tuduhan pemilu curang dan mengancam akan menem­puh ke jalur hukum. Hal ini membuat para pendukungnya panas. Di Phi­ladelpia, massa pendukung Trump berdemo di Pennsylvania Convention Center, gedung tempat penghitungan suara. Mereka mengibarkan bendera­-bendera dan membawa poster­-poster bertulis “Pemberian suara selesai pada Hari Pemilihan”, dan “Maaf, pemungutan suara sudah ditutup”.

Sejumlah kantor penyelenggara pemilu di negara bagian Nevada dan Arizona juga ikut didemo. Joe Gloria, petugas registrasi di Clark County, Nevada, adalah salah satu yang mengalami ketakutan karena ulah pendukung petahana itu. “Istri dan ibu saya sangat khawatir,” ujarnya dikutip dari Associated Press (AP), kemarin. Meski begitu, dia memastikan penghitungan surat suara tetap dilakukan. 

Massa yang mengepung pusat peng­hitungan suara di Maricopa, Phoenix, Arizona bahkan membawa senjata api dan senapan otomatis.

Baca juga : Pilpres Bikin Rakyat AS Cemas Dan Tegang

Situasi serupa juga ditemukan di Atlanta, Georgia. Sekitar 100 pendukung Trump berkumpul di luar tempat surat suara dihitung, yakni di State Farm Arena. “Hitung suara!,” teriak mereka. “Empat tahun lagi!,” timpal massa yang lain.

Di beberapa negara bagian, demo berlangsung rusuh. Massa yang mulai beringas setelah aksi demo yang damai melemparkan batu, botol kaca, hingga molotov ke arah polisi.

Di New York, kepolisian menangkap 50 orang yang diduga sebagai pelaku kerusuhan. Di Portland, Oregon, 10 orang diamankan berikut barang bukti senjata tajam dan molotov. Kerusuhan juga dilaporkan terjadi di Denver, Detroit, hingga Los Angeles. Demo dan ancaman ini jadi salah satu faktor yang membuat penghitungan suara berjalan lambat, selain karena Covid-­19 dan masalah teknis.

Kondisi Amerika seperti ini nyaris serupa dengan di Indonesia. Bedanya, anarkisme muncul setelah urusan Pilpres dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat Prabowo dinyatakan kalah. Jokowi dipastikan sebagai pemenangnya.

Memang, Pilpres AS kali ini banyak dibanding-­bandingkan dengan Pilpres 2019 di Indonesia. Bisa dibilang, ini Pilpres AS rasa Pilpres Indonesia.

Baca juga : Kesannya, Bernegara Tak Serius

Ekonomi senior Kwik Kian Gie termasuk yang turut membanding­-ban­dingkan Pilpres AS dan Pilpres di sini. Misalnya, Kwik menyoroti perilaku Trump dan pendukungnya yang membuat demokrasi AS jadi mirip Indonesia.

“Sekarang giliran Trump tiru-­tiru In­donesia. Menuduh surat suara dibuang. UUD tahun 2002 membuat demokrasi AS persis demokrasi Indonesia,” kicaunya dalam @kiangiekwik, kemarin.

Kwik menyebut, Trump seperti Pra­bowo pada 2019, menyerukan ada ke­curangan dalam penghitungan suara. Isu di AS, surat suara Trump dicoret spidol merek ‘Sharpie’ sehingga mesin tidak bisa mendeteksi. Kalau di Indonesia, isunya surat suara sudah dicoblos duluan.

Kwik melanjutkan, Trump berpidato selama hampir 17 menit untuk membuat semacam pernyataan yang menghasut tentang proses demokrasi di negeri Paman Sam yang belum pernah terdengar sebelumnya dari seorang presiden AS.

Terakhir, eks Menteri Koordinator Bi­dang Ekonomi, Keuangan dan Industri itu menyebut Indonesia dan AS tak ada yang lebih “hebat”. Indonesia dan AS impas.

Baca juga : Emil Perketat Pengawasan Di Tempat Wisata

“Di sana tak ada yang mati karena pemilu, tapi yang mati karena Covid-19 banyak. Kita sebaliknya. Jadi sama hebatnya,” cuit Kwik.

Yang dimaksud Kwik di cuitan ini yakni, saat Pemilu 2019, ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas yang sakit. Versi pemerintah, penyebab mereka meninggal karena kecapean.

Tapi kubu Prabowo tak percaya. Mereka menganggap hal itu sebagai sebuah kejanggalan. Malah, Fahri Hamzah yang dulu mendukung Prabowo menduga para petugas ini mati diracun.

Beda dengan di AS, memang meski­ pun Pilpresnya panas, tapi tak ada pe­tugas yang sampai tewas. Kemarin, me­mang diberitakan ada petugas Pilpres yang merasa terancam takut dibunuh dan mengaku stres. Kepolisian AS juga terus memperketat tempat­tempat penghitungan suara untuk mengantisipasi serangan para demonstran.

Seorang petugas registrasi Pilpres AS di Clark County, Nevada, yang mencakup Las Vegas, Joe Gloria me­ngaku, dirinya stres, lelah dan takut. Keluarganya juga, ketakutan akan berbagai ancaman. “Istri dan ibu saya sangat khawatir,” ujarnya pada Asso­ciated Press (AP), kemarin. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.