Dark/Light Mode

Menghemat Politik Identitas (15)

Tidak Boleh Menafikan Identitas Lain

Senin, 29 Agustus 2022 06:29 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Sikap politik Nabi banyak memberi contoh kepada kita bahwa keberadaan identitas lain tidak boleh dinafikan. Sebuah riwayat dari Asma’ binti Abu Bakar yang menanyakan perihal ibunya yang non-muslimah kepada Nabi, apakah boleh bersilaturrahim dengannya, lalu dijawab oleh Nabi: “Sambutlah ibumu dan bersilaturrahimlah dengannya”. (HR al-Hakim).

Seperti kita ketahui, ibu Asma’ saat itu masih musyrik. Masih banyak keluarga Nabi yang juga masih musyrik, termasuk kakeknya sendiri, Abdul Muthalib, yang hingga wafatnya tidak mengucapkan Dua Kalimat Syahadat, tetapi luar biasa respeknya Nabi, sang cucu, terhadapnya.

Dalam kesempatan lain, Aisyah menceritakan, suatu ketika kelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan: “Assamu ‘alaikum” (Kebinasaan bagimu).

Baca juga : Kebhinnekaan Adalah Rahmat

Memang sepintas kedengaran sama dengan kata “Assalamu‘alaikum” (keselamatan bagimu). Aisyah menjawabnya: “Wa ‘alaikumussam walla’nah” (kebinasaan dan laknat Allah bagimu).

Nabi menegur ‘Aisyah, isterinya, dengan mengatakan: “Pelan-pelan wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah SWT menyukai kelembutan dalam setiap persoalan”.

‘Aisyah menjawab: “Apakah engkau tidak mendengarkan apa yang mereka katakan kepadamu?”. Nabi menjawab: “Kamu sudah menjawab mereka dengan “Wa ‘alaikumussam”.

Baca juga : Melindungi Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan

Dalam kesempatan lain, Nabi menerima keberadaan Salman al-Farisi, seorang non-muslim dari Persia (kini Iran), diterima sebagai penasehat angkatan perang Nabi dan berada di dalam the inner circle Nabi. Dialah yang menjadi arsitek perang Nabi ketika berada di Madinah.

Di antara nasehatnya yang paling monumental ialah nasehatnya untuk menggali parit di seputar kota Madinah sebagai benteng perlindungan. Jika di China ada benteng atau tembok perlindungan raksasa, maka di Madinah ada khandaq (galian panjang) di sekeliling kota Madinah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Salman baru masuk Islam dalam paroh terakhir kehidupan Nabi di Madinah. Nabi juga mengajarkan keterampilan terhadap para pemuda dan pemudi tanpa dibedakan agama dan kepercayaannya untuk dididik berbagai keterampilan yang diajarkan oleh para tawanan perang Badar sebagai tebusan.

Baca juga : Merawat Inklusifisme Islam

Dari berbagai contoh kasus di atas, cukup menjadi bukti bagaimana Nabi sebagai teladan umat Islam begitu ramah dan lembut memperlakukan orang-orang non-muslim. Ibunya Asma’, sang mertua Nabi diminta untuk memperlakukan secara terhormat dan manusiawi kepada ibunya, sungguh pun ia seorang non-muslim. Bahkan Nabi meminta agar sering mendatangi untuk bersilaturrahim dengannya.

Sekalipun berbeda agama, kalau kerabat, tetap harus berprilaku baik dan respek terhadap mereka. Agama tidak boleh menjadi jarak antara satu sama lain. Yang penting di sini, adanya saling pengertian.

Kisah kedua, nyata-nyata kelompok non-muslim yang bertamu kepada Nabi menunjukkan itikad kurang baik, mendoakan Nabi binasa, lalu ‘Aisyah membalasnya dengan kalimat sepadan. Nabi bukannya menegur tamu yang kurang terpuji itu, tetapi malah menegur isterinya agar tetap bersikap lemah lembut terhadap tamu.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.