Dark/Light Mode

Menghemat Politik Identitas (14)

Kebhinnekaan Adalah Rahmat

Minggu, 28 Agustus 2022 06:29 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Kita sering diperdengarkan hadis Nabi yang menyatakan: Ikhtilafu baina ummati rahmah (Perbedaan di antara umatku adalah rahmat).

Pernyataan ini semula sulit diterima oleh kalangan sahabat Nabi, karena dalam tradisi masyarakat yang ber­corak kesukuan (qabiliyyah) selalu dibiasakan pola hidup kemasyarakatan yang homogen. Ketika ayat demi ayat turun juga menolerir perbedaan, maka semakin terbukalah pandangan dan wawasan bangsa Arab bahwa perbedaan tidak mesti diartikan sebagai ancaman.

Baca juga : Melindungi Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan

Inilah reformasi paling mendasar yang ditancapkan ajaran Islam di masyarakat. Ketika masyarakat belum terbiasa dengan perbedaan, tiba-tiba Islam tampil menyebarkan pola hidup keterbukaan. Wajar, jika resistensi para elite dan bangsawan Arab menolak, dan bahkan bermaksud membinasakan Nabi Muhammad SAW. Bukan karena Nabi tidak baik atau berakhlak buruk, tetapi mereka tidak ingin kedudukannya terancam den­gan tradisi baru yang dikenalkan Al-Qur’an di masyarakat.

Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan perbedaan dan pluralitas (bhinneka) sebagai sebuah keniscayaan. Keberagaman itu sendiri adalah dianggap sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatullah.

Baca juga : Merawat Inklusifisme Islam

Dalam Al-Qur’an ditegaskan: Wa lau sya’a Rabbuka, laja’alnaa kum ummatan waahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia menjadikan kalian menjadi satu umat). Dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata/huruf lau (jika) bukannya in atau idza.

Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi.

Baca juga : Mencontoh Piagam Aelia

Masalahnya, sekarang kamus bahasa Indonesia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diartikan dengan “jika” tanpa kualifikasi.

Konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak ja­rang terjadi karena dipicu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.